ViewMela Oktaviana 170910065 TUGAS MANDIRI DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME MANA MISC at SMAN 1 Bangli. TUGAS MANDIRI DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME Mata Kuliah :Pendidikan Penelitianini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn 'Abdillฤh dengan TapMPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, b. Undang - Undang No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan neara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. c. Undang - Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi d. danBebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan pidana aktif/positif atau dapat juga disebut tindak pidana komisi IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi" Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum,Pustaka Pelajar, yokyakarta, 2010, Hal. 5. 50 Pemerintahannyaharus menghadapi tantangan-tantangan yang berat sekali, seperti dalam keadaan ekonomi dan politik Indonesia yang nyata, siapa saja yang menjadi presiden pasti menghadapi kesulitan yang besar. Diantara persoalan-persoalan yang belum diatasi dimasa pemerintahan Megawati adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang lazim disebut KKN. BerikutSoal dan Kunci Jawaban Penilaian Akhir Semester PAS IPS SMP Kelas 7 Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran 2021/2022 : I. Pilihlah salah satu jawaban dari A, B, C, atau D yang paling benar! 1. Cermati permyataan berikut. 4) Sebagian besar jumlah pendudiuknya bermata pencaharian sebagai nelayan. oyB1zqf. ๏ปฟLaten tidak terlihat...Jadi, korupsi, kolusi, nepotisme itu gak terlihat tapi terjadi sangat parah...Kita sebut itu rahasia umum... rahasia yang udah diketahui masyarakat berlangsung secara terus menerus disini tertulis merugikan masyarakat/ berlangsung secara terus menerus. menurut anda mana yang paling tepat? This study concludes that the rise of corruption, collusion, and nepotism in the time of the Prophet Muแธฅammad comes from a variety of special terms and is contained in แธฅadฤซth. These emerging terms affect the different usage associations of each term. The method used in this research is analytical and descriptive method. This study uses two approaches. The first approach used in the research is the 'ilm al-แธคadฤซth approach. This approach is used to measure แธฅadฤซth-แธฅadฤซth relating to corruption, collusion and nepotism in terms of quality of matan and sanad; and its asbฤb al-Wurลซd. The second approach is the linguistic approach. This approach is enabled to explore the rationality of corruption, collusion, and nepotism through tradition, systematics, and language tendencies in producing an understanding. This research has several objectives. Firstly, to authenticate corruption, collusion, and nepotism as disciplinary and inconsistent attitudes that can be present in human beings without being limited by the dimension of time and space. Secondly, to verify and measure the existence of cases of corruption, collusion, and nepotism in the time of Mu'ammad ibn 'Abdillฤh by analyzing the matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, and asbฤb al-Wurลซd. Thirdly, inventory the terms of corruption, collusion, and nepotism in แธฅadฤซth and map their Corruption, Collusion, Nepotism, and แธคadฤซthAbstrak. Penelitian ini menyimpukan bahwa maraknya karupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa nabi Muแธฅammad hadir dari istilah khusus yang beragam dan terdapat dalam แธฅadฤซth. Istilah-istilah yang muncul tersebut berdampak pada asosiasi penggunaan yang berbeda dari masing-masing istilahnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitis dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan ilm al-แธคadฤซth. Pendekatan ini difungsikan untuk menakar แธฅadฤซth-แธฅadฤซth yang berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara kualitas matan dan sanadnya; dan asbฤb al-Wurลซd nya. Pendekatan kedua adalah pendekatan kebahasaan. Pendekatan ini difungsikan untuk menelusuri rasionalitas terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui tradisi, sistematika, dan kecenderungan kebahasaan dalam memproduksi suatu pemahaman. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn Abdillฤh dengan menganalisis matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, dan asbฤb al-Wurลซd. Ketiga, menginventarisir istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam แธฅadฤซth dan memetakan penggunaannya. Kata Kunci Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan แธคadฤซth Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS Teguh Luhuringbudi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia sampaiteguh Achmad Yani Kantor Wilayah Kementrian Agama, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia Abstract. This study concludes that the rise of corruption, collusion, and nepotism in the time of the Prophet Muแธฅammad comes from a variety of special terms and is contained in แธฅadฤซth. These emerging terms affect the different usage associations of each term. The method used in this research is analytical and descriptive method. This study uses two approaches. The first approach used in the research is the 'ilm al-แธคadฤซth approach. This approach is used to measure แธฅadฤซth-แธฅadฤซth relating to corruption, collusion and nepotism in terms of quality of matan and sanad; and its asbฤb al-Wurลซd. The second approach is the linguistic approach. This approach is enabled to explore the rationality of corruption, collusion, and nepotism through tradition, systematics, and language tendencies in producing an understanding. This research has several objectives. Firstly, to authenticate corruption, collusion, and nepotism as disciplinary and inconsistent attitudes that can be present in human beings without being limited by the dimension of time and space. Secondly, to verify and measure the existence of cases of corruption, collusion, and nepotism in the time of Mu'ammad ibn 'Abdillฤh by analyzing the matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, and asbฤb al-Wurลซd. Thirdly, inventory the terms of corruption, collusion, and nepotism in แธฅadฤซth and map their usage. Keywords Corruption, Collusion, Nepotism, and แธคadฤซth Abstrak. Penelitian ini menyimpukan bahwa maraknya karupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa nabi Muแธฅammad hadir dari istilah khusus yang beragam dan terdapat dalam แธฅadฤซth. Istilah-istilah yang muncul tersebut berdampak pada asosiasi penggunaan yang berbeda dari masing-masing istilahnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitis dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan ilm al-แธคadฤซth. Pendekatan ini difungsikan untuk menakar แธฅadฤซth-แธฅadฤซth yang berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara kualitas matan dan sanadnya; dan asbฤb al-Wurลซd nya. Pendekatan kedua adalah pendekatan kebahasaan. Pendekatan ini difungsikan untuk menelusuri rasionalitas terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui tradisi, sistematika, dan kecenderungan kebahasaan dalam memproduksi suatu pemahaman. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn Abdillฤh dengan menganalisis matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, dan asbฤb al-Wurลซd. Ketiga, menginventarisir istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam แธฅadฤซth dan memetakan penggunaannya. Kata Kunci Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan แธคadฤซth 229 Pendahuluan Muhammad ibn Abdillฤh merupakan sosok yang menjadi teladan dengan kebulatan perangai dari berbagai sudut pandang. Pandangan yang menyatakan bahwa Muhammad ibn Abdillah sebagai sosok yang sempurna seringkali tidak dapat lepas dari intervensi subyektif. Subyektifitas tersebut didasarkan pada norma, ikatan ideologis, pemahaman konservatif, dan keterlibatan dogma. Pandangan lain menyatakan kebulatan perangai yang berkonotasi positif didasarkan pada budaya ilmiah yang pada akhirnya menghasilkan negative frame maupun positive frame pada diri Muhammad ibn Abdillah. Hal tersebut didasarkan pada upaya merespon suatu thesa yang menyatakan bahwa Muhammad ibn Abdillฤh sebagai sosok yang berperangai baik tanpa atau minim nilai indisipliner-inkonsistensi. Respon yang diterapkan berupa budaya ilmiah dan tradisi tulis untuk membuktikan sejauh mana tingkat perangai baik yang ada pada diri Muhammad ibn Abdillฤh. Kedua pandangan tersebut bermuara pada upaya menghadirkan antithesa atau pertanyaan kritis berupa sejauh mana integritas moral Muhammad ibn Abdillฤh sebagai public figure dan kontekstualisasinya? Etika Nabi Muแธฅammad SAW dan dekadensi moral umat Islam merupakan diskursus yang tidak kunjung selesai dan selalu melibatkan subyektifitas dari setiap variabel pengukurannya. Variabel pengukuran berupa disiplin keilmuan Islamic Studies, Dirฤsฤt Islฤmiyyah yang sejatinya memiliki nuansa obyektif dan bebas nilai digunakan untuk melegitimasi suatu sikap ideologis-dogmatis-subyektif sebelum penelitian terkait berhasil memproduksi hasil penelitian. Upaya mengkomparasikan diskursus waktu atau tempat dalam tema atau kasus tertentu tidak lebih dari upaya kesewenang-wenangan untuk memberi sentimen positif pada waktu atau tempat tertentu dan sentimen negatif terhadap waktu atau tempat lain. Objektifikasi suatu moralitas harus dilakukan dengan menetralkan suatu tema atau kasus dengan menyampaikan pengetahuan bahwa setiap dimensi waktu dan tempat memiliki dinamika tersendiri dan tidak dapat disamakan dengan yang lain. Dinamika etika Muแธฅammad ibn Abdillฤh sebagai public figure yang dibandingkan dengan dekadensi moral umat Islam perlu dilakukan objektifikasi. Beragam kepribadian dan perilaku setiap manusia merupakan unifikasi yang rumit untuk diidentifikasi, apalagi diteliti secara mendalam. Upaya pengukuran etika dan moral umat Islam di dimensi waktu dan tempat yang berbeda perlu dikhususkan pada tema, pengambilan data, disiplin keilmuan, dan tujuan tertentu sehingga diharapkan dapat menghasilkan wawasan yang mendalam, deeply added insight. Hal ini juga berguna dalam melacak dan memastikan dinamika moralitas pada masa Nabi Muแธฅammad ibn Abdillฤh. Penelusuran etika Muhammad SAW dan moralitas masyarakat di zamannya perlu ditilik pada tema korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini tidak hanya didasarkan pada stigma korupsi sebagai extraordinary crime, namun juga keberadaan kolusi dan nepotisme yang berdampak pada dimensi ketata-negaraan, sosial, keadilan, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Pelacakan sejarah korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Nabi SAW menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengukuhkan teori sejarah dari ketiga tema tersebut. Pelacakan tersebut JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 230 menjadi stimulasi dalam memicu penelitian-penelitian lanjutan yang membahas penanganan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemahaman mendasar tentang ketiga tema tersebut didasarkan pada keterbatasan dalam mengendalikan id, ego, dan superego sekaligus fitrah manusia untuk mengaktualisasikan kebahagiaan paripurna. Perolehan kebahagiaan sempurna sebagai fitrah manusia secara alami akan membenarkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini berarti bahwa ketiga tema tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja atau di zaman reformasi pemerintahan Indonesia saja, namun jauh pada masa sebelumnya manusia telah mengalami bahkan melestarikan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pondasi Primordial Definisi, Historisitas, Normativitas, dan Dinamika Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Definisi korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat dilihat dari sudut pandang hukum dalam konteks ke-Indonesia-an. Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan hukum mendefinisikan kolusi sebagai pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antar Syamsul Anwar, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah Jakarta Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006, 10. Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016, 1. Kolusi dalam aspek perdagangan didefinisikan sebagai hubungan antara penawar bidder yang membatasi persaingan dan merugikan pembeli publik. 24. Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan pendapat muncul terkait entitas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pendapat yang memposisikan ketiganya sebagai satu kesatuan dapat dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2009 yang berbunyi, โ€œtindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.โ€Pendapat yang tidak secara inklusif menyebutkan nepotisme dan kolusi sebagai satu entitas dengan korupsi tersebut dijelaskan dalam ayat 2 pasal 5 UU RI Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, โ€œYang dimaksud penyelenggara negara dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian penyelenggara negara tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.โ€ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bab III Kewenangan, Pasal 6, Butir C. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 Ayat 2. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 231 Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan tindakan indisipliner yang terjadi sejak lama, baik dalam konteks ke-Indonesia-an maupun sejarah di masa Muแธฅammad ibn Abdillฤh. Luhuringbudi mencontohkan ketiga tindakan tersebut dalam konteks ke-Indonesia-an dengan pemlesetan singkatan โ€œVereenigde Oost-Indische Compagnieโ€ yang berarti โ€œPersekutuan Perusahaan Hindia Timurโ€ menjadi redaksi โ€œVergaan Onder Corruptieโ€ yang berarti โ€œBangkrut Karena Korupsiโ€ pada tahun tindakan tersebut juga terjadi di masa Muhammad ibn Abdillฤh yang berdampak pada produk hukum berupa kehalalan ganimah harta rampasan perang. Hal ini diperjelas dengan kutipan Hadis berikut ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ˆ†๎‡“๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎‚บ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฆ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ˆ๎€ƒ๎‡พ๎‡ท๎ˆ‚๎‡ฌ๎‡ณ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ป๎ˆ‹๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎„Ž๎…“๎‡ป๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡„๎ƒˆ๎‡ฃ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…‘๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎„‹๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ€๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฟ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎‡ท๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒŒ๎‡”๎ƒ‰๎†ฅ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒƒ๎ƒˆ๎ƒˆ๎…—๎ƒŒ๎‡‹๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎†พ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ง๎ƒŒ๎‡‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ…๎Šซ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆˆ๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒˆ๎…˜๎ƒˆ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ†๎†พ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ฉ๎†ข๎ƒˆ๎‡จ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒˆ๎†ป๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡„๎ƒˆ๎‡ค๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‚ฎ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒŠ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡‚๎ƒŠ๎‡œ๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎ˆ‡๎ƒŒ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡†๎ƒŒ๎‡ธ๎„‹๎‡Œ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎‡ฎ๎‡ณ๎‚ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎†ฆ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒ‰๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎†ท๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎ˆ€๎‡ด๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฐ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ท๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ†๎‚จ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ท๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฎ๎„‹๎‡ป๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎†ถ๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒˆ๎†ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฏ๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒ‰๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…›๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒ‰๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎†ฐ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎„‹๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฏ๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ ๎ƒˆ๎‡“๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎†ค๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€…๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒˆ๎‡„๎ƒŒ๎†ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡จ๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡“๎€ƒ๎ƒƒ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒ‰๎‰ฆ Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Peristiwa perang di masa Muhammad merupakan peristiwa sejarah yang menelurkan empat kasus sekaligus. Kasus pertama adalah kasus kolusi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persekongkolan dalam menyembunyikan harta sebagaimana redaksi ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ฐ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎†ค๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฒ . Tindakan penyembunyian harta yang dilakukan oleh pasukan Muhammad ibn Abdillฤh merupakan kerjasama dan pemufakatan jahat dalam melawan hukum berupa instruksi Muhammad untuk mengumpulkan semua harta rampasan perang yang merugikan rasa keadilan sesama prajurit. Pembuktian persekongkolan sebagai inti dari definisi kolusi yang bermakna lebih dari satu subjek atau pihak dibuktikan dengan redaksi ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง yang mengandung แธomฤซr-pronoun yang jamaโ€™ atau plural. Hal ini dapat mengakibatkan kesenjangan dan perasaan iri bagi prajurit yang saling bekerjasama dalam perang namun tidak mendapatkan kompensasi atau apresiasi setelah perang sedangkan pihak atau prajurit mendapatkan kompensasi atau apresiasi. Kasus kedua dari hadis tersebut adalah kasus korupsi. Variabel penyalahgunaan amanah dapat dilihat dari kemunculan instruksi sebagai basis normatif dan pengingkaran sebagai basis inkonsisten. Basis normatif แธฅadฤซth tersebut dapat terlihat dari ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง. Instruksi normatif Muhammad tidak sepenuhnya mendapatkan jawaban positif yang dibuktikan dengan fenomena ๎€ƒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡งMakalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016, 1. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 232 ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒˆ๎†ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฏ๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒ‰๎‡ฏ. Kutipan tersebut merupakan upaya dalam memastikan sejauh mana instruksi atau hukum berjalan di grass root. Hal ini membuahkan hasil karena adanya penemuan penggelapan dengan redaksi ๎€ƒ๎ƒŠ๎†ค๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎†ฐ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎†ฅ sebagai barang temuan. Terminologi al-Ghulลซl dalam Hadis ini dapat dikategorikan sebagai korupsi berdasarkan definisi yang diutarakan oleh Muhammad ketiga adalah nepotisme. Hadis tersebut memberikan keterangan bahwa perbuatan melawan hukum dengan tidak mengumpulkan seluruh harta rampasan perang ghanฤซmah merupakan suatu sikap indisipliner. Perlawanan hukum ini dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama ketika Nabi mengumpulkan harta rampasan perang merupakan suatu instruksi ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง agar seluruh prajurit turut melakukan hal yang sama walaupun hasil akhir menyatakan adanya ketidakpatuhan dan penggelapan. Kedua, tidak adanya perasaan bersalah disertai pengakuan perbuatan indisipliner sebagai bentuk perlawanan hukum saat Nabi mengatakan ada indikasi gulลซl hingga keadaan demikian menuntut adanya Pakta Integritas baiโ€™at seperti redaksi berikut ๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒ‰๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฅ. Nฤแนฃir mendefinisikn al-Ghulลซl adalah seorang yang mengambil harta rampasan perang secara diam-diam sedikit atau banyak dan tidak menyetorkannya kepada komandan perang untuk dibagi rata. Al-Shaikh Muแธฅammad Nฤแนฃir al-Dฤซn ibn al-แธคฤj Nลซh al-Albฤni, แนขahฤซh al-Targhฤซb wa al-Tarhฤซb, Juz 2 30. Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah Ketiga, Pakta integritas tersebut memunculkan pernyataan dari Muhammad ibn Abdillah dalam mengukuhkan adanya tindakan perlawanan hukum dan tidak adanya satu pihak pun yang mengakui atau minimal memberi kesaksian terkait tindakan indisipliner gulลซl yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan redaksi ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…›๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒ‰๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง. Tindakan indisipliner dengan tidak mengakui adanya gulลซl korupsi merupakan fenomena ketidakstabilan sosial social pathology yang menurut Haller dan Shore disebabkan karena kurang maksimalnya kegunaan ilmu dan ranah sosial social discipline yang menggerogoti kehidupan dalam melawan hukum untuk kepentingan keluarga dan kroni dibuktikan dengan adanya keterlibatan lebih dari satu pelaku dalam bentuk redaksi verbal ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง sebagai representasi dalam memahami fenomena nepotisme. Kasus keempat adalah historisitas kehalalan ghanฤซmah. Integritas dan dedikasi umat Islam terhadap instruksi pimpinan, Muhammad SAW yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menghadirkan penilaian terhadap fenomena manusia dalam konteks hadis tersebut. Hal ini menjadi pertimbangan Muhammad SAW dan Allah SWT dalam mengapresiasi lemahnya integritas dan dedikasi umat Islam dalam merawat budaya disiplin untuk menstimulasi terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016, 1. Dieter Haller dan Cris Shore Ed, Corruption Anthropological Perspective London Pluto Press, 2005, 4. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 233 sistem dan birokrasi yang terarah-terukur, good governance. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di saat perang tersebut melahirkan produk hukum berupa kehalalan ghanฤซmah. Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Treisman membagi penyebab korupsi menjadi lima sebab. Pertama, income kompetitif berbanding terbalik dengan kinerja. Kedua, intervensi pemerintah terhadap pasar terlalu tinggi. Ketiga, perlakuan sama terhadap beragam komoditas atau produk oleh pemerintah. Keempat, undang-undang atau peraturan yang rumit dan tidak transparan. Sundell berpendapat bahwa korupsi lahir karena tidak adanya upaya memprofesionalkan birokrasi untuk melindungi dari pengaruh politik. Suksesi tindakan sekaligus pelestarian kolusi terjadi karena beberapa faktor atau penyebab. Pertama, adanya kontrak atau pengadaan publik dengan sistem birokrasi dan administrasi yang lemah sehingga berpotensi melahirkan budaya persaingan yang tidak pengadaan publik yang lebih khusus terutama pengadaan barang membuat prosesnya menjadi lebih khusus pula sehingga rentan terhadap praktik anti persaingan. Peraturan dan persyaratan yang menuntut proses yang lebih detil dan Boris Begovic, Corruption Concepts, Types, Causes, and Consequences Center for International Private Enterprise Economic Reform Feature Service, 2005, 1-7. Daniel Treisman, โ€œThe Causes of Corruption A Cross-national Study,โ€ Journal of Public Economics, 76 2000 399-457. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 4. The OECD Global Forum on Competition, Collusion and Corruption in Public Procurement 2010 9-10. Hal ini berdampak pada upaya pelemahan demokrasi, menghambat tata berlebihan sehingga lebih mudah diprediksi dan memunculkan pelung tidak adanya upaya pencegahan berupa penyelenggaraan sistem dan transaksi yang transparan. Sebab-sebab kemunculan nepotisme dapat ditilik dari beberapa pendapat. Pendapat pertama muncul dari Sundell yang menyatakan bahwa nepotisme disebabkan empat hal. Pertama, pengaruh politik yang dibuktikan dengan tidak adanya reformasi sebagai suatu prinsip kenegaraan sehingga profesionalitas birokrasi menjadi yang dimaksud adalah promosi dan transformasi posisi tanpa biaya administratif dengan tuntutan adanya kreteria objektif yang salah satunya berupa persyaratan pendidikan. Kedua, senioritas dan tidak adanya meritokrasi. Ketiga, adanya unsur kekeluargaan dalam suatu pekerjaan, tugas, atau aristokrasi memiliki peluang dalam mengakses pendidikan yang lebih baik dan pada akhirnya menjamin keberadaan posisi politis dan karir tertentu. Pendapat-pendapat yang menjabarkan sebab-sebab nepotisme tersebut memiliki dampak pada tidak berjalannya birokrasi yang professional. Identifikasi praktik korupsi dapat dilihat dari beberapa unsur. Pertama, penyalahgunaan posisi publik untuk pemerintahan yang sehat, dan menghambat investasi dan pembangunan ekonomi. The OECD Global Forum on Competition, Collusion and Corruption in Public Procurement 2010 10. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 10. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 12-13. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 20. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 234 keuntungan finansial di bidang monopoli dalam berbagai pelayanan infrastruktur. Kedua, memperoleh tender dengan cara yang tidak sah bagi perusahaan yang mimiliki hubungan dengan orang-orang di posisi publik. Ketiga, penunjukan individu atas dasar nepotisme. Keempat, memfasilitasi perizinan dan pemotongan pajak untuk individu yang tidak memenuhi syarat berdasarkan hubungan pribadi. Kelima, penyalahgunaan barang publik untuk partai politik atau penggunaan kajian penelitian ini didasarkan pada dua hal. Pertama, pembatasan berdasarkan tema besar dilakukan dengan memfokuskan pada wacana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua, pembatasan berdasarkan waktu adalah tinjauan hadis-hadis korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengindikasikan adanya ketiga tindakan indisipliner di masa nabi; dan konteks ke-Indonesia-an. Kedua pembatasan ini untuk ditujukan untuk melihat kadar degradasi moral pada masa nabi dan pada masa reformasi di Indonesia. Ketiga, Hadis yang digunakan dalam penelitian ini adalah gulul, rishwah, suht, baiโ€™ฤt al-Imฤm li dunya, dan jaur al-Qฤdฤซ aw al-Imฤm. Pembatasan masalah tersebut di atas merupakan dasar penelitian yang ditujukan untuk melakukan Azmi Shuabi, Elements of Corruption in th eMiddle East and North Africa The Palestinian Case, disampaikan pada 9th International Anti-Corruption Conference IACC, 10-15 October, 1999, Durban, South Africa, 2. Nur Achmad, PENCEGAHAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HADIS Studi Hadis Korupsi dalam Kutub al-Sittah Jakarta Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2007, 103-128. Lihat dalam Tabel Daftar Inventaris Hadis Korupsi. Muslim, แนขaแธฅฤซh, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Wujลซd al-แนฌahฤrah li al-แนขalฤh, no. 224. Abลซ pengembangan studi hadis. Achmad berhasil menginventarisir hadis tentang korupsi yang dibagi menjadi tiga hadis gulul secara umum, empat belas hadis gulลซl al-ganimah, sembilan hadis gulลซl al-sadaqah dan hadiyyah al-ummal, tiga hadis risywah, dua hadis suht, satu hadis baiโ€™at al-imam li al-dunya, lima hadis jaur al-qadi aw monoton yang dihadirkan Achmad dalam studi Hadisnya difokuskan pada tema besar korupsi semata. Penulis berusaha mengembangkan Hadis gulul, rishwah, suht, baiโ€™ฤt al-Imฤm li dunya, dan jaur al-Qฤdฤซ aw al-Imฤm pada pemetaan tema korupsi, kolusi, dan nepotisme. . The Facts of the Case ๎€ƒ๎†ช๎‡ ๎…ฉ๎€ƒ ๎…ˆ๎‚ค๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎‡‚๎‡ธ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎‡บ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒ‰๎‚บ๎†ซ๎€ƒ๎ˆ๎€ƒ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†พ๎‡๎€ƒ ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ฐ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ˆ€๎ƒ‰๎‡—๎€ƒ ๎ƒŠ๎…š๎‡ค๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ†๎‚จ๎ˆ๎‡๎€ƒ๎ƒ‡๎‚พ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ฃ๎€…18๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒˆ๎ƒ€๎Šช๎ˆ‚๎†ฏ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒˆ๎†พ๎‡ˆ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฌ๎ƒ‚๎‡‚๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚ผ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎‡ง๎€ƒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‡„๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ฐ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ช๎ˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒ†๎‚ ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎‡‚๎ƒˆ๎†ฅ๎€ƒ ๎ˆ‚๎‡ฟ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎€…๎ƒˆ๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ป๎ƒˆ๎‚ฎ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎ˆ‡๎„‹๎†พ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚19๎€ƒ๎ƒ€๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒ‹๎ˆ†๎ƒŠ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฐ๎ƒˆ๎…ฌ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒ‹๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒ‰๎†ท๎€ƒ๎‡บ๎†ฅ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†พ๎†ฆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ˆ‹๎‚ฆ๎€ƒ ๎„Œ๎ƒ„๎‚ข๎€ƒ ๎€๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒŠ๎† ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ ๎…“๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ ๎„‹๎‡ฎ๎‡‹๎€ƒ ๎ˆ๎€ƒ ๎ƒ†๎ƒ€๎†ข๎…ป๎‚ค๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ˆ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฎ๎†ข๎ˆ€๎ƒŠ๎†ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ฃ๎€ƒ๎€ƒ๎€‘๎ƒ†๎‚จ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎ƒŒ๎…๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎„‹๎†ด๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡งDฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Farแธi al-Wuแธลซโ€™, no. 59, juz 1, Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a Lฤ Tuqbalu al-แนขalฤt bi Gairi แนฌahลซr, no. 1, h. 9. Nasฤโ€™ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Farแธ al-Wuแธลซโ€™, no 139, h. 31. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Lฤ Tuqbalu al-แนขalฤt bi Gairi แนฌahลซr, no. 271, 272, 273, dan 274, h. 57. Tirmizฤซ, Sunan, Kitฤb al-Sair, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Ghulลซl, No. 1573, h. 403. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-แนขadฤqฤt , Bฤb al-Tashdฤซd fฤซ al-Dain, No. 2412, h. 386. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡—๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‚จ๎ˆ๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎‡ง๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎‡ซ๎†พ๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎†˜๎‡ง๎€ƒ๎‡ฒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ซ๎€ƒ๎€‘ ๎ƒŠ๎‚ฉ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ผ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒŠ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ„๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎€‘๎‡ฒ๎ˆˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒŒ๎ˆ€๎ƒ‰๎†ณ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎„‹๎‡‚๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ˆ€๎ƒŠ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎†˜๎‡ง๎€ƒ๎‡ฒ๎ˆˆ๎‡ซ๎€ƒ๎€‘๎„‹๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎„‹๎‡„๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎… ๎€ƒ ๎ƒˆ๎ƒŒ๎…›๎ƒŠ๎‡ฏ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡Œ๎ƒ‰๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ฟ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‚ป๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎‡‹๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ซ๎€ƒ๎€‘๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎‡ˆ๎ƒŒ๎‡จ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ป๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€…๎ƒ‰๎‡ฝ๎ƒ‰๎‚ฎ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒ‰๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡ท๎ƒˆ๎‚ฎ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ช๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡ฟ๎ƒ‰๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎€20๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†พ๎†ฆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡‡๎ƒˆ๎‚ฐ ๎€ƒ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡‹๎‚ฆ๎„‹๎‡‚๎‡ณ๎‚ฆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎†ซ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚21๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎‡‚๎ˆ‡๎‡‚๎‡ฟ๎€ƒ ๎ƒŠ๎„บ๎‚ข๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎†ซ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡‹๎‚ฆ๎„‹๎‡‚๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ฐ๎ƒ‰๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ22๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…ฉ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ถ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎‚๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฟ๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎„”๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ธ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฎ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎„‹๎†ด๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ๎€๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎‚๎€…๎‚Ÿ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ค๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡ฟ๎€ƒ๎„‹๎‡ถ๎ˆ€๎‡ด๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€ƒ๎€๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡จ๎ƒˆ๎†ท๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ก๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎‚ค๎€…๎€ƒ๎€๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ๎€‘๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ป๎€ƒ๎„‹๎‡ถ๎ˆ€๎‡ด๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฎ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‡Š๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€‘๎ƒ‰๎‡ฝ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡Ÿ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡‹๎ƒ‰๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ23๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€‘๎ƒŠ๎ƒ‹๎ƒŠ๎……๎ƒˆ๎ˆ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ฎ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ผ๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎ƒˆ๎ƒ‰๎…ฑ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒˆ๎†จ๎ƒˆ๎‡๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚พ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡‡๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‚บ๎†ซ๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎‚๎ƒ…๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ง๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ด๎„‹๎‡ธ๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎‡ซ๎ƒˆ๎‚ข๎€…๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎€‘๎€…๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ท๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒˆ๎†พ๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ซ๎ƒŒ๎ƒˆ๎ฆ๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎‚๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ ๎Šฎ๎€…๎€ƒ๎€๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎ƒŠ๎ˆ‹๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎„Œ๎‡ฒ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎ƒˆ๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ…๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎„‹๎‡ธ๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ข๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ Tirmiแบ“ฤซ, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Gulลซl, no. 1573, h. 403. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-แนขadฤqฤt, Bฤb al-Tasydฤซd fฤซ al-Daฤซn, no. 2412, h, 386. Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Aqแธiyah, Bฤb fฤซ Karฤhiyati al-Rishwah, no. 3580, Juz. 3, h. 291. Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤshi wa al-Murtasyฤซ fi al-แธคukmi, no. 1337, h. 344. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, Bฤb al-Taglฤซz fฤซ al-แธคaif wa al-Risywah, no. 2313, Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤsyi wa al-Murtasyฤซ fi al-แธคukmi, no. 1336, h. 344. ๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎†ฆ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎‚๎ƒ‰๎‡ฎ๎ƒŠ๎‡ˆ๎ƒŒ๎ƒ‰๎…ป๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†ท๎†ข๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŒ๎†ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ธ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎†ข๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒˆ๎†ค๎ƒŒ๎ˆˆ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ท๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŠ๎‡ซ๎ƒณ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒ…๎‚ฎ๎‚ฆ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŠ๎‡‡๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†ข๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎†ข๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎‚๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†ข๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎Šญ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒ‰๎‡ง๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†ฅ๎†ข๎‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎€๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎‡ท๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎†ค๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎‚๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ท๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŠ๎‡ซ๎ƒณ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒ…๎‚ฎ๎‚ฆ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŠ๎‡‡๎€ƒ๎€๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎ƒณ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎„‹๎‡บ๎ƒ‰๎‡ฟ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŠ๎‡‡๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎Šฎ๎€ƒ๎‚๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎†ข๎ƒ…๎†ฌ๎ƒŒ๎†ธ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฏ๎ƒŒ๎ƒˆ๎ฉ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒ‰๎‚บ๎†ฆ๎ƒŠ๎†ท๎†ข๎‡๎†ข๎ƒ…๎†ฌ๎ƒŒ๎†ธ๎ƒ‰๎‡‡๎€…24๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎……๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒŠ๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎†…๎Šช๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚ฝ๎ƒ‰๎‡€๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡Ÿ๎ƒ‰๎‚ข๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒ€๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ป๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ท๎ƒ‰๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎„‘๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎‡ฃ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎†พ๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎„”๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ƒŠ๎„‘๎ƒŠ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„ฟ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ซ๎„‹๎†พ๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‡›๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎…™๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡†๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ˆ€๎ƒŠ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ด๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎„‘๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ต๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎„‹๎ˆ†๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฎ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎‡ซ๎ƒŠ๎ƒ‹๎†พ๎ƒˆ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡Œ๎ƒŒ๎‡ค๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ƒŠ๎„‘๎ƒŠ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎ƒŠ๎„ฟ๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎…™๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ˆ€๎ƒŠ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡›๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎Šฎ๎€ƒ๎€‘๎ƒˆ๎‚ต๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ†๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฎ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…š๎ƒˆ๎‡‡๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ†๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ˆ๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ž๎ƒŠ๎‡จ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒ‰๎†ซ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒˆ๎†พ๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒ‰๎†ณ๎Šฎ๎€ƒ๎€‘๎ƒ‰๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฅ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ž๎ƒŠ๎‡จ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒˆ๎†จ๎ƒˆ๎† ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡˜๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ฌ๎‚ฆ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ถ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ซ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎„‹๎‡ป๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏAbลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Kharฤj wa al-Imฤrah, Bฤb fฤซ Karฤhiyati al-Iftirฤแธ fฤซ ฤ€khir al-Zamฤn, no. 2959, juz 3, h. 71. Muslim, แนขaแธฅฤซแธฅ, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb Man Taแธฅillu lahu al-Masโ€™alah, no. 1044, h. 373. Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb Mฤ Tajลซzu fฤซhi al-Masโ€™alah, no. 1640, juz 2, h. 40. Nasฤโ€™ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb al-แนขadaqah li man Taแธฅammala bi แธคamฤlatin, no 2577. Dฤrimฤซ, Sunan, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb Man Taแธฅillu lahu al-แนขadaqah, no 1670, juz 1, h. 283-284. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒˆ๎†ช๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ป๎€ƒ๎ƒ‡๎†ช๎ƒŒ๎†ธ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ป๎†ข๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎€…๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒˆ๎…„๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข25Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎‡‚๎ˆ‡๎‡‚๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎‚ข๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฐ๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ท๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ง๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ฎ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ˆ€๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฏ๎ƒˆ๎‡„๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎€ƒ๎€๎ƒ†๎‡ถ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ณ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ž๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ป๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ช๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎„‹๎‡˜๎‡ณ๎ƒŠ๎Šช๎€ƒ๎ƒ‡๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎‡”๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ท๎†ข๎ƒŠ๎‡ท๎‚ค๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎ˆ‡๎ƒˆ๎Šช๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎„‹๎‡ˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฝ๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎‡ฝ๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ป๎ƒ‰๎†พ๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎„พ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฆ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ž๎€ƒ๎ƒ…๎ˆ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ˆ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŠ๎†…๎ƒŠ๎Šช๎€…๎€‘๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒŠ๎‡–๎ƒŒ๎‡ ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎†ป๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ซ๎„‹๎†พ๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‡ง26๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎…“๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎„พ๎€ƒ ๎ƒ†๎†พ๎ƒŠ๎†ท๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚จ๎†ข๎‡”๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒˆ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎„พ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎‡€๎„‹๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎„‹๎‡ท๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„พ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฏ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡”๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎‡ช๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ป๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎„พ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ฐ๎ƒ‰๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎‡ช๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ป๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ฒ๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡”๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€‘๎€…๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŠ๎„พ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง27๎€ƒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎‚๎ƒˆ๎„พ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎ƒŠ๎‡“๎†ข๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‰ฆ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ท๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ˆ„๎‡ด๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ฃ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎†œ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎‚๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ๎€…๎ƒ‰๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎ˆˆ๎„‹๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ28๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŠ๎ƒ‹๎ƒ„๎ƒŠ๎‚ฐ๎ƒŒ๎†พ๎ƒ‰๎ƒŒ๎…ฌ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‡๎†พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒˆ๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎ƒ‡๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚พ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฏ๎€…๎€‘๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒŒ๎…š๎ƒŠ๎‡ท๎ƒˆ๎‚ข29 Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Bฤb Mฤ แบ’ukira fฤซ Faแธli al-แนขalฤh, no. 614, h. 177. Aแธฅmad, Musnad, juz 3, h. 321 dan 399. Bukhฤrฤซ, แนขahฤซh, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Man Bฤyaโ€™a Rajulan lฤ Yubฤyiโ€™uhu illฤ li al-Dunyฤ, no. 7212, h. 1306. Bukhฤrฤซ, Kitฤb al-Shahฤdฤt, Bฤb al-Yamฤซn baโ€™da al-Aแนฃri, no. 2672, h. 486-487. Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Aqแธiyyah, Bฤb fฤซ al-Qฤแธฤซ Yukhแนญiโ€™u, no. 3573, Juz 3, h. 288-289. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb al-แธคฤkim Yajtahidu fa Yuแนฃฤซbu al-แธคaq, No. 2315, h. 370. Tirmฤซzฤซ, Sunan, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ al-Imฤm al-ฤ€dil, No. 1330, h. 343. ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‡๎†พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒˆ๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎…„๎‚ค๎€ƒ ๎ƒŠ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎„‹๎†ค๎ƒˆ๎†ท๎‚ข๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎‚ค๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ท๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฟ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎‚ค๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ˆ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ฏ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฟ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒŒ๎‚ฎ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎…„๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡’๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎‚ข๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎‚ค๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎ƒ†๎‚พ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฟ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎†ข๎ƒ…๎‡ˆ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฟ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ท๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€‘๎ƒ†๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ30๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ด๎†ข๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†พ๎ƒŒ๎†ฆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…ฉ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎‰ฆ๎€ƒ ๎„‹๎ƒ€๎‚ค๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡Ÿ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡„๎ƒŠ๎†ฌ๎ƒŒ๎‡ป๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡’๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡’๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ฐ๎‡ณ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡Ÿ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ธ๎ƒŠ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ช๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡’๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒŠ๎† ๎ƒ‰๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎†ข๎„‹๎ˆ€๎ƒ‰๎†ณ๎€ƒ ๎†ข๎ƒ…๎‡‡๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ฃ๎ƒ‰๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎„‹๎…ฃ๎‚ฆ๎€…๎€‘๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎„Œ๎‡ด๎ƒˆ๎‡“๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎„Œ๎‡ด๎ƒˆ๎‡”๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…š๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎†ฌ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ง๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง31Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif berdasarkan penguraian atau reduksi datanya. Penelitian ini juga tergolong sebagai penelitian pustaka karena objek materil dan objek formil dalam penelitian ini diambil dari literasi kepustakaan yang digunakan dalam penyusunan kerangka berpikir yang menjadi landasan sejak awal hingga analisis dalam penelitian ini. Sumber primer atau objek materil penelitian ini adalah kitab berjudul Kutub al-Sittah. Proses pengumpulan data yang berasal dari buku/kitab Kutub al-Sittah dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, menginventarisir แธฅadฤซth- แธฅadฤซth yang memiliki probabilitas Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Malฤแธฅฤซm, Bฤb al-Amr wa al-Nahy, No. 4344, Juz 4, h. 109. Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Fitan, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a Afแธalu al-Jihฤd Kalimฤt แธคaq inda แนขulแนญฤn Jฤโ€™ir, No. 2174, h. 524. Tirmizi, Sunan, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ al-Imฤm al-ฤ€dil, No. 1329, h. 343. Bukhฤrฤซ, แนขaแธฅฤซแธฅ, Kitฤb al-Ilmi, Bฤb Kaifa Yuqbaแธu al-Ilmu, No. 100, h. 37. Muslim, แนขaแธฅฤซแธฅ, Kitฤb al-Ilmi, Bฤb Rafโ€™i al-Ilmi waQabแธihi, No. 2673, h. 1030. Tirmizi, Sunan, Abwฤb al-Ilmi, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ Zihฤbฤซ al-Ilmi, No. 2652, h. 625. Al-Manฤwฤซ, Faiแธ al-Qadฤซr, No. 1826, Jilid 2, h. 347. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 237 sebagai indikator, penjelasan, bahkan pengertian dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua, mengklasifikasi istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dari แธฅadฤซth-แธฅadฤซth yang diteliti. Istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme berupa Ghulลซl, Rishwah, Suแธฅt, Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ, dan Jaur al-Qadฤซ aw al-Imฤm disampaikan di pendahuluan sebagai bahan dasar analisis di pembahasan selanjutnya. Proses analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, menandai kata, diksi, atau redaksi yang menunjukkan pemaknaan atau pembahasa korupsi, kolusi, dan nepotisme di setiap แธฅadฤซth yang diteliti. Kedua, memberikan komentar terkait status dan kualitas แธฅadฤซth. Ketiga, mendefinisikan istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam แธฅadฤซth secara kebahasaan. Keempat, memberikan komentar dan penafsiran dari para muแธฅaddith terkait maksud dari redaksi, diksi, atau kata yang terkait dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di setiap แธฅadฤซthnya. Kelima, menyampaikan kondisi korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn Abdillah SAW yang berkaitan pada setiap kasus di setiap แธฅadฤซthnya. Keenam, malakukan interpretasi linguistik. Ketujuh, malakukan perpaduan analisis antara interpretasi linguistik, kondisi pada masa Muแธฅammad ibn Abdillah SAW melalui beragam literasi, dan keterangan dari asbฤb al-Wurลซd. Ketujuh, malakukan framming. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah al-Ghulลซl Muslim menjelaskan dugaan kuat bahwa Ibn ฤ€mir terlibat dalam kasus korupsi sebagaimana pernyataannya berikut ๎€ƒ๎‡ฎ๎‡ป๎‚ค๎€ƒ ๎‡ฝ๎†ข๎‡ผ๎‡ ๎‡ธ๎‡ง๎†ซ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚ผ๎ˆ‚๎‡ฌ๎†ท๎€ƒ๎‡ฎ๎†ฅ๎€ƒ๎‡ช๎ƒ‹๎‡ด๎‡ ๎†ซ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎‚จ๎‡‚๎‡๎†ฆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ช๎‡ผ๎‡ฏ๎€ƒ๎†พ๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ค๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎…ƒ๎†ข๎‡ˆ๎†ฅ๎€ƒ๎†ช๎‡ˆ๎‡ณ๎€ƒ๎…„๎†ข๎‡ ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡พ๎†ฐ๎†ท๎ƒ‚๎€ƒ๎‡‚๎‡ท๎†ข๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡‚๎†ณ๎‚ฑ๎€ƒ๎†พ๎‡๎‡ซ๎€ƒ๎‡‚๎‡ธ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ€๎‚ข๎€ƒ๎‚๎‡ถ๎‡ด๎‡Ÿ๎‚ข๎€ƒ๎‰ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎‡‚๎‡ฟ๎†ข๎‡œ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฎ๎†ข๎†ฆ๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ผ๎ˆ‚๎‡ฌ๎†ท๎ƒ‚๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‚ธ๎ˆ๎‡ซ๎ˆ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡พ๎‡”๎ˆ‡๎‡‚๎…ข๎ƒ‚๎€ƒ๎†จ๎†ฅ๎ˆ‚๎†ฌ๎‡ณ๎‚ฆ๎‚ฉ๎†ข๎‡จ๎‡ณ๎†ข๎†ผ . Muslim, แนขaแธฅฤซh, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Wujลซd al-แนฌahฤrah li al-แนขalฤh, no. 224, Cetakan Kedua Kerajaan Saudi Arabia Hadis G1 merupakan แธฅadฤซth yang secara terus-terang ditujukan pada tindakan korupsi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan ๎‚จ๎‡‚๎‡๎†ฆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒˆ๎†ช๎‡ผ๎‡ฏ๎ƒ‚ Umar ibn Khattฤb pada Ibn ฤ€mir. Pernyataan tersebut dimaknai Muslim bahwa Ibn ฤ€mir tidak mungkin mendapat perhatian dari Allah atas penyakit yang menimpanya karena disinyalir terjerat kasus keadilan sosial berupa penyimpangan hak-hak Allah, masyarakat, dan lingkungan. Muslim juga berpendapat bahwa Umar ibn al-Khattฤb bermaksud menyadarkan Ibn ฤ€mir dengan mengupayakan agar bertaubat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat terkait dengan G2 yang tidak memiliki kecenderungan dalam tipologi korupsi, kolusi, maupun nepotisme perlu diamati lebih jauh. Penulusuran sejarah asbฤb al-Wurลซd dan interpretasi muแธฅaddith tidak menjelaskan secara rinci Hadis ini. Penyatuan seluruh struktur teks Hadis diupayakan untuk memperoleh pemahaman dan maksud sehingga tidak menyisakan kabar yang sulit dipahami. Penyatuan tersebut dimaksudkan tidak hanya untuk menghilangkan kesan kontradiksi dalam Hadis semata. Sisi lain penyatuan unsur linguistik teks disebabkan karena kesan kontradiksi Hadis sebenarnya memiliki maksud yang tidak jauh al-Ghulลซl yang berada diantara al-Kanz dan al-Dain memungkinkan memiliki makna yang dapat menjembatani kontradiksi makna diantara keduanya. Kata al-Kanz yang Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penerangan Darus Salam, Muharram 1421/April 2002, 114. Laila Sari Masyhur, โ€œStudi Analitik Hadits Penyalahgunaan Fungsi Jabatan Kasus Ibnu Lutbiah,โ€Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1 Januari 2011 98-114 [109]. Lihat juga Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fฤซ Ulลซm al-Hadis, Cetakan Ketiga Beirut Dar al-Fikr, 1997, 338. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 238 berarti menimbun barang dan kata al-Dain yang berarti hutang adalah potret kontradiksi atau oposisi biner yang memungkinkan bahwa makna al-Ghulลซl dalam konteks kalimat ini memiliki citra sebagai sesuatu yang dapat menjembatani kedua redaksi kontradiktif tersebut. Hal ini memungkinkan bahwa kata al-Ghulลซl memiliki makna menyuap atau menyogok; dan atau korupsi. Pemaknaan tersebut didasarkan karena al-Kanz merupakan potret ekonomi yang menunjukkan kemapanan dan al-Dain menunjukkan ketidakmapanan. Pemaknaan sogok atau suap merupakan unsur terpenting dari kolusi dan nepotisme yang bernuansa untuk subjektifitas kepentingan pribadi, keluarga, kelompok penyuap atau penyogok. Hal ini menyebabkan bahwa kata al-Ghulลซl pada G2 tidak hanya dimaknai sebagai korupsi, namun juga kolusi dan nepotisme. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Rishwah Hadis R1 bernuansa kolusi dan nepotisme. Abลซ ฤชsฤ menyatakan bahwa kualitas Hadis adalah แธฅasan แนฃahฤซh dan diriwayatkan oleh Abฤซ Salamah ibn Abd al-Rahmฤn yang didapatkan dari Abdullah ibn ini merupakan kecaman. Kecaman ini ditujukan pada al-Rฤshฤซ dan al-Murtashฤซ. Definisi al-Rฤshฤซ sebagai al-Muโ€™แนญฤซ ๎ˆ„๎‡˜๎‡ ๎…ญ๎‚ฆ dan al-Murtashฤซ sebagai al-ฤ€khidh ๎‡€๎†ป๎ˆ‰๎‚ฆ oleh al-Tarmidhฤซ dimaksud sebagai dua tindakan indisipliner dengan menggunakan cara illegal nail bi bฤแนญฤซlan dan mengajukan Abลซ ฤชsa Muแธฅammad ibn ฤชsฤ al-Tarmidhฤซ, Sunan al-Tarmidhฤซ, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤshฤซ wa al-Murtashฤซ fi al-แธคukm, Hadis ke-1341 Beirut Dar al-Fikr, 2005. 408. Kualitas แนฃaแธฅฤซh didasarkan pada riwayat Alฤซ ibn Muแธฅammad, lihat Abฤซ Abdillฤh Muแธฅammad ibn Yazฤซd al-Qazwฤซnฤซ Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, maksud kontra produktif tawแนฃแนฃul badฤlฤซ แบ“ulmin.Redaksi al-Rฤshฤซ dan al-Murtashฤซ yang didasarkan pada bentuk maแนฃdar berupa rishwah yang berarti pemberian, sogokan, atau suap ini merupakan fakta sosial yang terekam dan dilembagakan oleh ucapan Muแธฅammad ini merupakan tindakan sosial secara aktif yang melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Hal ini berdampak pada asosiasi rishwah dalam Hadis R1 ini tidak mungkin mengacu pada kenyataan korupsi pada masa itu. Oposisi biner yang menghadirkan dua redaksi dalam oral Muแธฅammad merupakan rekaman keberadaan interaksi aktif antara al-Rฤshฤซ dan al-Murtashฤซ. Hadis ini tidak menjelaskan rantai keuntungan dalam konteks negatif-destruktif yang dialamatkan untuk keluarga atau rekanan pelaku yang terlibat rishwah sehingga mempermudah asosiasi istilah rishwah sebagai bentuk nepotisme. Hadis ini merupakan bentuk kecaman dan ancaman untuk tidak melakukan rishwah sehingga bagi pelaku yang melanggar ucapan Muแธฅammad dapat dikategorikan sebagai upaya melawan hukum yang biasa disebut kolusi. Hal ini menyebabkan bahwa แธคadฤซth R1 lebih cenderung bernuansa kolusi disbanding sekedar nepotisme, terlebih korupsi. แธคadฤซth R2 bernuansa kolusi dan nepotisme. Abลซ ฤชsฤ menyatakan bahwa kualitas Hadis adalah แธฅasan แนฃahฤซh dan diriwayatkan oleh Abลซ Mลซsฤ Muแธฅammad ibn al-Muthannฤ yang diketahui dari Abลซ ฤ€mir al- al-Taglฤซz fฤซ al-แธคaif wa al-Rishwah, no. 2313 Riyฤd Maktabatu al-Mufฤriq, 1417 H., 396. Abฤซ ฤชsฤ Muแธฅammad ibn ฤชsฤ ibn al-Tarmidhฤซ, Jฤmiโ€™u al-Tarmidhi maโ€™a Shamฤilu al-Tarmidhi TK TP., 212. Informasi lain menyatakan bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Abฤซ Dhiโ€™bin yang diketahui dari Khฤlid al-แธคฤrith ibn Abd al-JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 239 Hadis yang tidak ditemukan asbฤb al-Wurลซd nya ini menampilkan dua redaksi yang saling berinteraksi sehingga mendekati pada definisi nepotisme walaupun tidak dijelaskan status kekerabatan dan sosial yang terjalin antara al-Rฤshฤซ, al-Murtashฤซ, dan pihak lain secara mendetil. Hal inilah yang menyebabkan redaksi rishwah sebagai kata mendasar dan kata kunci dalam แธฅadฤซth ini cenderung mendekati nuansa dan etimologi suap dan penerimaan suap setelah ucapan Muแธฅammad dalam R2 ini di masanya merupakan tindakan melawan hukum yang dapat dikategorikan sebagai R3 mengandung unsur kolusi dan nepotisme. Hal ini didasarkan pada redaksi al-Aแนญฤโ€™u yang berarti pemberian tentu dengan konotasi negatif dalam konteks perebutan kekuasaan yang ditandai dengan redaksi ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฎ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒ†๎‡Š๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡จ๎ƒˆ๎†ท๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ก๎€ƒ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎‚ค dan rushฤn yang berarti sogokan atau suap. Kasus nepotisme yang mensyaratkan adanya upaya menguntungkan diri sendiri dan jalinan sosial terdekat dibuktikan dengan terciptanya budaya โ€œmemberiโ€ untuk maksud pragmatis. Bentuk lain dari nepotisme adalah upaya perekrutan individu tanpa Raแธฅmฤn. Khalid mengetahuinya dari Abฤซ Salamah yang mengetahuinya dari Abdillah ibn Amr. Abลซ ฤชsa Muแธฅammad ibn ฤชsฤ al-Tarmidhฤซ, Sunan al-Tarmidhฤซ, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤshฤซ wa al-Murtashฤซ fi al-แธคukm, Hadis ke-1342 Beirut Dar al-Fikr, 2005. 408. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. mempertimbangkan peraturan atau proses uji kelayakan. Hal ini merupakan upaya inkonstitusional yang terjadi di masa Muแธฅammad untuk mempertahankan atau untuk merebut kekuasaan sebagaimana tertulis dalam tekstualitas แธฅadฤซth ๎†ข๎ˆ€๎‡ผ๎ˆˆ๎†ฅ๎€ƒ๎†ข๎‡ธ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‡ฎ๎‡ด๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ.Nepotisme terjadi di tengah kondisi masyarakat suku Quraish yang saling bersaing dan bertikai untuk memperebutkan kekuasaan sehingga netralitas dan objektifitas untuk memilih pemimpin atau suatu kebijakan yang bersifat produktif, konstruktif, dan visioner diabaikan oleh upaya perekrutan jalur kekerabatan dan pertemanan dalam mengisi posisi kekuasaan dan dominasi permufakatan yang menguntungka pihak tertentu saja dari proses musyawarah yang telah dilakukan kolusi yang terjadi dalam penggambaran Hadis R3 ditandai dengan redaksi ๎‚ ๎†ข๎‡˜๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ atau ๎†ข๎‡‹๎‚ฐ. Kedua tindakan ini menuntut adanya kerjasama secara aktif dalam rangka menyalahi ketentuan, peraturan, dan hukum. Kedua tindakan ini berbanding sejajar dengan definisi kolusi yang berbunyi pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antar Penyelenggara Negara dan pihak lain Kata al-Aแนญฤโ€™u berarti gift atau present dalam bahasa Inggris yang dapat juga berarti โ€œpemberianโ€ dalam bahasa Indonesia. Kata ini merupakan bentuk tunggal dari al-Aโ€™แนญiyyah ๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎„‹๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡˜๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ˆ‹๎‚ฆ. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Wrtten Arabic, Ed. J. Milton Cowan, Edisi Ketiga New York Spoken Language Services, 1971, 622. Andrew Hoctor, Nepotism & HRM Practices โ€“ How They Affect Player Satisfaction A Study of Clubs National College of Ireland, 2012, 11. L. Wong dan B. Klenier, Nepotism International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 3, No. 34 1994 10-19. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 240 yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau inilah yang menyebabkan redaksi ๎‚ ๎†ข๎‡˜๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ atau ๎†ข๎‡‹๎‚ฐ pada Hadis R3 mewakili dua dimensi intoleran-inkonsisten berupa nepotisme dan korupsi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Suแธฅt Hadis S1 mengandung kecenderungan dan nuansa nepotisme. Hal ini didasarkan pada perbuatan meminta-minta yang dilarang kecuali tiga hal berupa beban, hutang, atau tanggungjawab ๎†จ๎‡ณ๎†ข๎ƒ‹๎‡ธ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ ๎‡ฒ๎„Œ๎‡ธ๎…ข; bencana atau kecelakaan ๎†จ๎ƒˆ๎†ธ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎†ณ; dan kebangkrutan atau kerugian ๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†ข๎‡ง. Perbuatan meminta-minta selain ketiga pengecualian tersebut di atas dikategorikan sebagai suแธฅt yang berarti barang yang tidak terjangkau ill-gotten property, kepemilikan ilegal illegal possession, perdagangan yang tidak sah unlawful trade, sesuatu yang terlarang something forbidden.Redaksi Hadis S1 yang membicarakan tentang perbuatan โ€œmeminta-mintaโ€ adalah kondisi dimana salah seorang muslim mengajukan permintaan pada Muแธฅammad. Permintaan seperti ini dapat terjalin Kolusi dalam aspek perdagangan didefinisikan sebagai hubungan antara penawar bidder yang membatasi persaingan dan merugikan pembeli publik. 24. Redaksi ๎†จ๎‡ณ๎†ข๎ƒ‹๎…ง didefinisikan oleh Muslim sebagai harta yang ditanggung manusia. Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang yang menengadahkan tangannya dalam keadaan genting kemudian pihak atau lain mengulurkan tangannya atau memberi atau membayarkan pada peminta tersebut dengan kerelaan ๎€ƒ๎‚ฌ๎ˆ๎‡๎‚ค antara kedua belah pihak yang menunjukkan suatu jelas atau lugas ๎€ƒ๎‚ฉ๎‚ฆ๎‚ฏ๎…›๎†ฆ๎‡ณ๎‚ฆ . Abฤซ al-แธคusainฤซ ibn al-แธคajjฤjฤซ ibn al-Muslim al-Qusairiyyi al-Naisฤbลซriyy, แนขaแธฅฤซh Muslim, Cetakan Kedua Kerajaan Arab Saudi Dar al-Salฤm dan dengan adanya kesepakatan dan fungsi aktif dari pihak peminta dan pihak pemberi. Tindakan yang dimaksud dengan suแธฅt seperti ini juga tidak harus menanti kesepakatan dan kerjasama pihak peminta dan pemberi karena Muslim memberi keterangan bahwa tindakan ini adalah tindakan yang dilarang atau seperti ini tentu berpotensi untuk tidak hanya pada dirinya sendiri, namun juga pada pihak kekerabatan dan pertemanan dalam individu sosial yang berkaitan dan dekat dengan pihak peminta atau pihak yang melakukan suแธฅt. Hal inilah yang menyebabkan bahwa Hadis S1 lebih mendekati definisi nepotisme dibanding korupsi maupun kolusi dalam pendekatan kebahasaan. Hadis S2 yang berstatus แธฅasan gharฤซb ini cenderung bernuansa korupsi dan nepotisme. Hal ini didasarkan pada beberapa peristiwa sebelum pembahasan แนฃuht berupa para pemimpin yang intoleran dan indisipliner; pemebenaran kebohongan beserta konsekuensinya; dukungan ke-dzalim-an beserta konsekuensinya; perlawanan terhadap kebohongan dank e-dzalim-an beserta konsekuensinya; แนฃalฤt sebagai bukti kebenaran; puasa Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000 M. / Muharram 1421 H., 419, Rohi Baalbaki, al-Mawrฤซd, Cetakan Ketujuh Beirut Dar al-Ilm li al-Malฤyฤซn, 1995, 625. Abฤซ al-แธคusainฤซ ibn al-แธคajjฤjฤซ ibn al-Muslim al-Qusairiyyi al-Naisฤbลซriyy, แนขaแธฅฤซh Muslim, Cetakan Kedua Kerajaan Arab Saudi Dar al-Salฤm dan Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000 M./Muharram 1421 H., 420. Nur Achmad, Pencegahan Korupsi dalam Perspektif Hadis Studi Hadis Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Tesis Jakarta Sekolah PAscasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, 2007, 119. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 241 sebagai pelindung kebenaran; dan sedekah sebagai penghapus kesalahan. Peristiwa-peristiwa tersebut diakhiri ungkapan bahwa anggota tubuh biologis yang eksis didasarkan pada indikasi suแธฅt mendapat perhatian berupa neraka sebagai responnya. Hal ini dapat dirujuk pada peristiwa-peristiwa yang mengawali sebelumnya bahwa Muแธฅammad telah meramalkan suatu masa yang sulit untuk membedakan kehalalan dan keharaman sesuatu yang dikonsumsi. Hal ini didasarkan pada kondisi pemerintahan di suatu daerah negara yang inkonsisten dan inkonstitusional. Solusi yang bersifat preventif dari Muแธฅammad adalah salat, puasa, dan zakat untuk mengontrolkedisiplinan mental, pikiran, dan tubuh dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Suatu yang telah dikonsumisi dan menjadi daging dapat dikategorikan sebagai makanan dan minuman yang memungkinkan untuk didapat dari hasil mengambil secara illegal berupa korupsi; dan persekongkolan untuk memperoleh suatu tujuan yang dapat dinikmati oleh diri pribadi dan rantai sosial terdekat berupa nepotisme. Hadis S2 ini tidak dapat dikategorikan sebagai kolusi karena substansi pemahaman dan definisi dari kolusi adalah permufakatan sosial dalam melawan hokum sebagai tindakan utama. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ Hadis BID 1 merupakan gambaran kondisi kolusi. Hadis dengan kualitas Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb Tijฤrฤt, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ al-Karฤhiyati al-Aimฤn fฤซ al-Syarฤโ€™ wa al-Baiโ€™, No. 2207, Cetakan Pertama Riyad Maktabatu al-Maโ€™ฤrif, 1417 H., 379-380. Bukhฤrฤซ, แนขahฤซh, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Man Bฤyaโ€™a Rajulan Lฤ Yubฤyiโ€™uhu illฤ li al-Dunyฤ, No. 7212 , 1513. แนฃaแธฅฤซh ini menampilkan tiga peristiwa yang sosial yang berkaitan sebagai bentuk respon terhadap fakta kemanusiaan masa Muแธฅammad berupa apresiasi terhadap backpacker Ibn al-Sabฤซl, persekongkolan dan consensus dalam pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin Baiโ€™atu al-Imฤm, dan duata dalam berniaga atau pertama merupakan manajemen sosial. Peristiwa kedua merupakan etika musyawarah-mufakat, etika kepemimpinan, tata kelola pemerintahan. Peristiwa ketiga merupakan etika bisnis. Ketiganya merupakan suatu interaksi kemanusiaan yang berkonotasi negatif. Ketiganya juga menyuguhkan perhatian pada peristiwa kedua berupa Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ. Redaksi Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ lebih mendekati pada konteks dan definisi kolusi yang menekankan adanya pemufakatan jahat untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin untuk kepentingan sesaat li al-Dunyฤ. Pengangkatan seseorang pemimpin tidak dapat dilandasi dari kepentingan kelompok tertentu. Hal ini di luar etika pemilihan pemimpin yang sewajarnya dipilih berdasarkan status kredibilitas dan otentisitas model peran etis calon pemimpin; kemampuan untuk peka terhadap isu terbaru yang penting; keberadaan iklim pemilihan yang mempertimbangkan sisi manajemen pribadi dan manajemen sosial dari calon pemimpin itu penting kedua yang lahir dari definisi korupsi adalah potensi atau Cristopher M. Barnes dan Lieutenant Colonel Joseph, What Does Contemporary Science Say about Ethical Leadership? The Army Ethic of Military Review, 2010, 90-91. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 242 penemuan kerugian bagi orang lain. Redaksi Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ dalam Hadis BID 1 dipastikan memiliki potensi yang merugikan bagi calon pemimpin lain secara langsung dan bagi rakyat atau pihak yang akan dipimpin secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena adanya upaya untuk membungkam karakter pemimpin inilah yang menyebabkan istilah Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ dalam Hadis BID 1 tidak tepat disandingkan pada kondisi nepotisme yang menitik beratkan pada upaya memberi keuntungan pada diri sendiri, keluarga, sahabat, kelompok, dan pihak tertentu semata tanpa berupaya mengakomodasi banyak pihak secara komprehensif dan adil. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Jaur al-Qadฤซ aw al-Imฤm Hadis JQI 1 menyoroti fenomena perlawanan terhadap hukum dan kebodohan keteledoran atau kelalaian yang dilakukan oleh hakim sebagai bentuk kolusi dan nepotisme. Ibn Mฤjah menyatakan bahwa kualitas Hadis ini adalah yang memutuskan suatu perkara tanpa dilandasi peraturan dan hukum yang berlaku merupakan upaya Karakter pemimpin ideal yang tidak merugikan orang lain dan tidak didasarkan pada kepentingan sesaat li al-Dunyฤ dapat dilihat dari parameter nilai, sikap, kepercayaan, perilaku, kebiasaan dan praktik dan sampai batas tertentu tergantung pada budaya organisasi, profesional atau institusional. Katarina Katja Mihelic, Bogran Lipicnik, dan Metka Tekavcic, โ€œEthical Leadership,โ€ International Journal of Management & Information Systems, Vol. 14, No. 5 Fourth Quarter 2010 31-42 [32]. Abฤซ Abdillฤh Muแธฅammad ibn Yazฤซd al-Qazwฤซnฤซ Ibn Mฤjah, Sunan Ibn Mฤjah, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb al-แธคฤkimu Yajtahidu Fayuแนฃฤซbu al-Haq, Hadis Ke 2315 Riyad Maktabatu al-Maโ€™ฤrif, 1417 H., 396. perlawanan hukum secara sengaja dan berdampak pada kerugian yang dialami orang lain sebagaimana definisi kolusi yang hadir dari UU RI Tahun mendasar terkait kolusi adalah โ€œkerjasamaโ€ yang memiliki konotasi yang inilah yang menyebabkan bahwa perisitiwa perlawanan hukum dengan istilah Jaur al-Qฤแธฤซ aw al-Imฤm pada Hadis JQI 1 merupakan gambaran kolusi yang terjadi secara nyata pada masa Muแธฅammad. Kolusi yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum dapat berdampak pada hilangnya infrastruktur dan layanan publik secara kualitas dan kelalaian atau keteledoran seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara merupakan tindakan ketidakadilan karena jabatan atau posisi tersebut menuntut adanya kemampuan dan kecakapan yang disyaratkan sebagai bentuk menjunjung objektifitas dalam rangka menyelenggarakan salah satu penerjemahan keadilan. Salah satu unsur yang perlu dipahami dari tindakan kelalaian adalah hakim yang tidak tahu dalam proses dan regulasi penyelesaian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Patrick Andreoli-Versbach dan Fens-Uwe Franck, โ€œEconometric Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,โ€Journal of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2 July 2015 463-492 [464]. Global Forum on Competition, Policy Roundtables Collusion and Corruption in Public Procurement Organisation for Economic Co-operation and Development, 2010, 10. Mark Spranca, Elisa Minsk, dan Jonathan Baron, Omission and Commision in Judgment and Choice, Ed. Jon Haidt University of Pennsylvania, Augst 2003 [2]. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 243 masalah merupakan bentuk ketidakprofesionalan seseorang dalam berkarir. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk kolusi karena dianggap sebagai upaya melawan hukum yang berlaku; atau sebagai bentuk nepotisme karena ketidakkompetenan seorang hakim yang perlu dipertanyakan narasi sejarah perekrutan hakim tersebut. Sejarah perekrutan hakim yang tidak kompeten tentu memunculkan asumsi adanya nepotisme atau perekrutan yang didasarkan pada jalur kekerabatan dan bukan berdasarkan proses kompetisi yang objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Redaksi Jaur al-Qฤแธฤซ aw al-Imฤm yang dilahirkan dari Hadis JQI 1 dengan peristiwa kesalahan putusan oleh hakim yang berdasarkan ketidakkompetenan atau kebodohannya ini dapat diasosiasikan sebagai bentuk lain dari nepotisme yang dilandasi subyektifitas asumsi dan ramalan Muแธฅammad akan adanya narasi genetik proses perekrutan hakim yang bernuansa nepotisme. Hadis JQI 2 memotret penyikapan spiritual dengan etika profesi yang menimbulkan dua kecondongan penafsiran berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hadis ini memiliki kualitas แธฅasan gharฤซb menurut Tirmizi atau แนฃaแธฅฤซh menurut hakim yang bertindak adil tanpa memihak pada subyektivitas tertentu dan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku merupakan gambaran etika profesi yang didukung oleh pesan agama sebagaimana redaksi ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎ƒŠ๎‡“๎†ข๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‰ฆ JQI 2. Redaksi ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ yang berarti menyimpang adalah tindakan negatif Nur Achmad, Pencegahan Korupsi Perspektif Hadis Studi Hadis Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Tesis Jakarta Sekolah yang tidak spesifik merujuk pada perbuatan tertentu, namun dapat diklasifikasikan berdasarkan kasus yang memungkinkan terjadi pada seorang hakim. Redaksi Jaur al-Qฤแธฤซ aw al-Imฤm sebagai istilah yang dimunculkan dari upaya penyimpangan atau ketidakadilan yang dibuktikan dengan redaksi ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ seorang hakim dari Hadis ini dapat dikategorikan ke dalam tiga persoalan berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketidakadilan yang dilakukan seorang hakim dalam menjalankan profesinya yang melibatkan hubungan kerjasama untuk melawan hukum yang berlaku merupakan potret kolusi. Ketidakadilan dalam mereduksi atau mengeliminasi pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memutuskan suatu perkara merupakan upaya korupsi dari seorang hakim. Upaya untuk memenangkan atau membijaki suatu permasalahan yang melibatkan rekan atau keluarga dari hakim merupakan tindakan subyektif untuk menguntungkan jalinan sosial terdekat secara sepihak. Hal ini merupakan upaya nepotisme. Hadis JQI 3 dapat dikategorikan sebagai Hadis yang memiliki kecenderungan dan nuansa pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kecenderungan tersebut didasarkan pada redaksi umum yang dihadirkan berupa ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒŒ๎…š๎ƒŠ๎‡ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡‡. Redaksi ini didasarkan pada ketidakadilan yang perlu dituntut oleh siapapun. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dapat didasarkan pada dua hal yaitu kesengajaan dan politis; dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007, 121. Human Right Watch, They Want Us Exterminated Murder, Torture, Sexual KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 244 Unsur kesengajaan yang dilakukan pemimpin yang berbuat tidak adil dapat dikategorikan sebagai gambaran korupsi yang terjadi pada masa Muแธฅammad dalam hal administrasi, birokrasi, dan keuangan. Unsur politis yang dilakukan pemimpin dalam pemimpin untuk tidak mendistribusikan keadilan secara merata dan terkesan subyektif dapat dikategorikan sebagai upaya nepotisme karena hal ini dilakukan untuk keuntungan dan kepentingan yang dapat dinikmati oleh pihak tertentu semata tanpa mempertimbangkan asas akomodasi dan kemerataan. Unsur kesewenang-wenangan yang dilakukan seorang pemimpin yang tidak adil di masa nabi dapat pahami dengan mempertimbangkan kemungkinan keberadaan upaya pemanfaatan jabatan dan pangkat tertentu untuk berkomunikasi dan atau bekerjasama antara sesama elemen pemerintahan atau di luar elemen pemerintahan untuk untuk melemahkan atau merekayasa suatu aturan atau produk hukum yang telah ada dan berlaku. Hal inilah yang menyebabkan pemimpin yang menyeleweng dapat dikategorikan sebagai bentuk kolusi. Pembenaran agama dengan menginstruksikan untuk memberi peringatan pada pemimpin yang melanggar atau menyeleweng sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang dibuktikan dengan redaksi ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎€ƒ๎ƒ‡๎‚พ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡Ÿ. Perhatian agama terhadap indikasi kontra komitmen pada diri pemimpin juga dapat diasumsikan Orientation and Gender in Iraq New York 2009, 35. Human Right Watch, They Want Us Exterminated Murder, Torture, Sexual Orientation and Gender in Iraq New York 2009, 35. sebagai bentuk hilangnya cita-cita moral yang disebabkan oleh politik, kepentingan pribadi, dan JQI 4 menunjukkan inkonsistensi seorang pemimpin yag digambarkan dalam redaksi ๎‡‚๎†Ÿ๎†ข๎†ณ๎€ƒ ๎‚ฟ๎†ข๎‡ท๎‚ค dengan definisi โ€œpemimpin yang menyimpangโ€ menyisakan penalaran dan penafsiran yang beragam. Keberagaman pemahaman terkait โ€œmenyimpangโ€ dapat dikategorikan salah satu dari atau keseluruhan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Indikasi yang muncul untuk memahami redaksi ๎‡‚๎†Ÿ๎†ข๎†ณ jฤir adalah dengan merujuk pada redaksi sebelumnya yang berbunyi ๎‚พ๎‚ฎ๎†ข๎‡Ÿ ฤdil. Hal ini menyebabkan definisi jฤir sebagai antonim dari ฤdil. Ketidakadilan dalam banyak kasus dapat dipahami sebagai bentuk pelanggaran yang tidak terbatas pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. HadisJQI 5 merupakan potret kolusi yang kerap terjadi dalam ranah akademik. Konspirasi dalam mengangkat pemimpin yang tidak memiliki kompetensi akademik yang memadai dalam bidang dan institusi karirnya๎€ƒtercermin dalam ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡‡๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ฃ๎ƒ‰๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎„‹๎…ฃ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ…๎ˆ๎†ข๎„‹๎ˆ€๎ƒ‰๎†ณ.Refleksi แธฅadฤซth ini menyarankan untuk tidak memilih rektor, kepala sekolah, kyai, kepala jurusan, guru, dan sebagainya tanpa dilandasi bekal keilmuan yang mumpuni secara implisit. Sejarah kemunculan แธฅadฤซth ini diawali dari konteks upaya antisipasi nabi Muแธฅammad dalam menginstruksikan pengikutnya untuk belajar dari sumber terupdate. Konteks akademik dapat dilihat dari redaksi ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ dan beragam derivasinya, ๎†ข๎‡‡๎ƒ‚๎‚ฃ๎‚ฐ, dan ๎ˆ๎†ข๎ˆ€๎†ณ. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 245 Ke-update-an suatu sumber keilmuan dalam disiplin manajemen sosial dan konflik berupa al-Qurโ€™ฤn yang sering dikutip Nabi merupakan suatu rujukan yang lebih relevan dan lebih komprehensif dibanding rujukan yang berasal dari muแนฃแธฅaf yang dipercaya pengikut dari komunitas Yahudi maupun Penelitian ini menunjukkan bahwa empat belas hadis yang tertera sebelumnya dengan istilah khusus dari masing-masing hadis tersebut tidak dapat diasosiasikan ke dalam salah satu dari tindakan intoleran-inkonsisten berupa korupsi, kolusi, atau nepotisme semata. Kemungkinan istilah khusus yang hadir setiap hadis pun dapat diasosiasikan pada korupsi, kolusi, dan nepotisme secara sekaligus. Hal ini juga berbanding lurus dengan upaya melihat nuansa dan kadar korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Muแธฅammad yang ditentukan dari asosiasi setiap istilah yang hadir dari setiap แธฅadฤซth. DAFTAR PUSTAKA Abลซ Dฤwลซd, Sunan. Achmad, Nur. Pencegahan Korupsi dalam Perspektif แธคadฤซth Studi แธคadฤซth Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Tesis Jakarta Sekolah Asbฤb al-Nuzลซl Hadis ini adalah ๎€ƒ๎‚ฟ๎†ข๎‡ท๎ˆ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡พ๎†ณ๎‡‚๎†ป๎‚ฆ๎†จ๎‡ท๎†ข๎‡ท๎‚ฆ๎€ƒ๎„บ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ฎ๎ˆ‡๎†พ๎†ท๎€ƒ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎…ˆ๎‚ฆ๎…๎‡˜๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†พ๎…ง๎‚ฆ๎€ƒ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎…“๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚ธ๎‚ฆ๎‚ฎ๎ˆ‚๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†จ๎†ด๎†ท๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ๎ƒ€๎†ข๎‡ฏ๎€ƒ๎†ข๎…ญ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚ช๎ˆ๎†ฏ๎€ƒ๎‡พ๎†ฌ๎‡ด๎…ง๎€ƒ๎‚ง๎†ข๎‡ฟ๎‚ฏ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ง๎†ข๎‡ฟ๎‚ฏ๎€ƒ๎ƒ€๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎‡ž๎‡ง๎‡‚๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒ‚๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡’๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒ€๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ฒ๎†ฆ๎‡ซ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒ‚๎‡€๎†ป๎‚ฆ๎€ƒ๎Šญ๎‡‚๎ˆ€๎‡›๎‚ฆ๎€ƒ๎…›๎†ฅ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎‡ผ๎‡ท๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ž๎‡ง๎‡‚๎ˆ‡๎€ƒ๎‡ฆ๎ˆˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎…“๎‡ป๎€ƒ๎Šฎ๎€ƒ๎‡พ๎‡ผ๎‡Ÿ๎€ƒ๎†จ๎ˆ‡๎‚ฆ๎ƒ‚๎‚ฐ๎€ƒ๎„ฟ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฉ๎‚ฆ๎‡‚๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎‡ผ๎‡ธ๎‡ด๎‡ ๎†ซ๎€ƒ๎†พ๎‡ซ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡ฆ๎†ท๎†ข๎‡๎…ญ๎€ƒ๎‡ฝ๎‡€๎‡ฟ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎†ค๎‡”๎‡ค๎‡ท๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡พ๎‡‡๎‚ข๎‚ฐ๎€ƒ๎‡พ๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ž๎‡ง๎‡‚๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎‡ผ๎‡ท๎†พ๎†ป๎ƒ‚๎€ƒ๎Šญ๎‚ ๎†ข๎‡ˆ๎‡ป๎ƒ‚๎€ƒ๎Šญ๎‚ ๎†ข๎‡ผ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎‡ฟ๎†ข๎‡ผ๎‡ธ๎‡ด๎‡Ÿ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡พ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎‡ท๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฟ๎‚ ๎†ข๎ˆˆ๎†ฆ๎‡ป๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฟ๎‚ ๎†ข๎†ณ๎€ƒ๎†ข๎‡ธ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ˆ€๎‡ผ๎‡ท๎€ƒ๎‚ฆ๎ˆ‚๎‡ธ๎‡ด๎‡ ๎†ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎…ƒ๎€ƒ๎‡ฆ๎†ท๎†ข๎‡๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฟ๎‡‚๎ˆ€๎‡›๎‚ฆ๎€ƒ๎…›๎†ฅ๎€ƒ๎ƒƒ๎‚ฐ๎†ข๎‡๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฎ๎ˆ‚๎ˆ€๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ PAscasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, 2007. al-Naisฤbลซriyy, Abฤซ al-แธคusainฤซ ibn al-แธคajjฤjฤซ ibn al-Muslim al-Qusairiyyi. แนขaแธฅฤซh Muslim, Cetakan Kedua Kerajaan Arab Saudi Dar al-Salฤm dan Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000 M. / Muharram 1421 H.. al-Qazwฤซnฤซ, Abฤซ Abdillฤh Muแธฅammad ibn Yazฤซd Ibn Mฤjah, Sunan Ibn Mฤjah Riyad Maktabatu al-Maโ€™ฤrif, 1417 H.. Al-Sayyid al-Sharฤซf al-Allฤmah al-Muแธฅaddith al-Sayyid Ibrฤhฤซm ibn al-Sayyid Muhammad ibn al-Sayyid Kamฤluddin Naqฤซb Miแนฃr ibn Hamzah al-แธคusaini al-แธคanafi al-Damshiqi, Kitฤb al-Bayฤn wa al-Taโ€™rฤซf fฤซ Asbฤb Wurลซd al-แธคadฤซth al-Sharฤซf al-Bahฤโ€™ Tijฤh Dฤr al-แธคukลซmah, 1329. Andreoli-Versbach, Patrick., dan Franck, Fens-Uwe July 2015. โ€œEconometric Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,โ€Journal of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2 463-492. Anwar, Syamsul. Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah Jakarta Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006. Baalbaki, Rohi. al-Mawrฤซd, Cetakan Ketujuh Beirut Dar al-Ilm li al-Malฤyฤซn, 1995. Barnes, Cristopher M., dan Lieutenant Colonel Joseph, What Does Contemporary Science Say about Al-Sayyid al-Sharฤซf al-Allฤmah al-Muแธฅaddith al-Sayyid Ibrฤhฤซm ibn al-Sayyid Muhammad ibn al-Sayyid Kamฤluddin Naqฤซb Miแนฃr ibn Hamzah al-แธคusaini al-แธคanafi al-Damshiqi, Kitฤb al-Bayฤn wa al-Taโ€™rฤซf fฤซ Asbฤb Wurลซd al-Hadis al-Sharฤซf al-Bahฤโ€™ Tijฤh Dฤr al-แธคukลซmah, 1329, 187. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 246 Ethical Leadership? The Army Ethic of Military Review, 2010 Begovic, Boris. Corruption Concepts, Types, Causes, and Consequences Center for International Private Enterprise Economic Reform Feature Service, 2005. Bukhฤrฤซ, Kitฤb al-Shahฤdฤt, Bฤb al-Yamฤซn baโ€™da al-Aแนฃri, no. 2672, h. 486-487. Global Forum on Competition, Policy Roundtables Collusion and Corruption in Public Procurement Organisation for Economic Co-operation and Development, 2010. Haller, Dieter., dan Cris Shore Ed, Corruption Anthropological Perspective London Pluto Press, 2005. Hoctor, Andrew. Nepotism & HRM Practices โ€“ How They Affect Player Satisfaction A Study of Clubs National College of Ireland, 2012. Human Right Watch, They Want Us Exterminated Murder, Torture, Sexual Orientation and Gender in Iraq New York 2009. Luhuringbudi, Teguh. Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016. Masyhur, Laila Sari Januari 2011. โ€œStudi Analitik Hadits Penyalahgunaan Fungsi Jabatan Kasus Ibnu Lutbiah,โ€Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1 98-114. Mihelic, Katarina Katja., Lipicnik, Bogran., dan Tekavcic, Metka Fourth Quarter 2010. โ€œEthical Leadership,โ€ International Journal of Management & Information Systems, Vol. 14, No. 5 31-42. Muแธฅammad Nฤแนฃir al-Dฤซn ibn al-แธคฤj Nลซh al-Albฤni, Al-Shaikh. แนขahฤซh al-Targhฤซb wa al-Tarhฤซb, Juz 2 30. Nasฤโ€™ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Farแธ al-Wuแธลซโ€™, no 139, h. 31. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 Ayat 2. Shuabi, Azmi. Elements of Corruption in th eMiddle East and North Africa The Palestinian Case, disampaikan pada 9th International Anti-Corruption Conference IACC, 10-15 October, 1999, Durban, South Africa. Spranca, Mark., Minsk, Elisa., dan Baron, Jonathan. Omission and Commision in Judgment and Choice, Ed. Jon Haidt University of Pennsylvania, Augst 2003. Sundell, Anders. Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014. The OECD Global Forum on Competition, Collusion and Corruption in Public Procurement 2010. Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a Lฤ Tuqbalu al-แนขalฤt bi Gairi แนฌahลซr, no. 1, h. 9. Treisman, Daniel 2000. โ€œThe Causes of Corruption A Cross-national Study,โ€ Journal of Public Economics, 76 399-457. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 247 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bab III Kewenangan, Pasal 6, Butir C. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Wrtten Arabic, Ed. J. Milton Cowan, Edisi Ketiga New York Spoken Language Services, 1971. Wong, L., dan Klenier, B. 1994. Nepotism International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 3, No. 34 10-19. ... 2 Dari perspektif agama. Diatara penelitian dari perspektif agama ini ditulis oleh Syafiin Mansur, Mansur, 2016 Firmansyah, Firmansyah, 2017 Vivi Ariyanti Ariyanti, 2015, Teguh Luhuring Budi dan Achmad Yani, Budi & Yani, 2018 Fazzan,Fazzan, 2015 Arini Indika Arifin, Arifin, 2020 Hermawan. Hermawan, 2018 Lain dari berbagai jenis penelitian di atas kajian ini akan mencoba menelaah hubungan agama dan perilaku korupsi dari filsafat; secara spesifik akan dibahas dari perspektif teori worldview. ...Khasib Amrullah Usmanul KhakimHaryanto HaryantoListriana ListrianaIt is undeniable that corruption has become a serious problem for the state of Indonesia. Academic attention to the corruption cannot be underestimated; in which many research reports on corruption are published in scientific journals; which generally look from the perspective of the standing law or religion. Different from these studies, this study will try to examine the concept of corruption from a philosophical point of view through the philosophical theory that has become popular recently worldview theory. Worldview itself is understood as a belief system that guides human life; which can be used as a framework in reading the facts of corruption. This study is expected to be able to provide an explanation of the fundamental structure of the concept of corruption and compile the elements of an Islamic worldview needed in anti-corruption education. This research is library research; data obtained from books, papers and other documentation. The data analysis technique uses the contain analysis method, which is trying to interpret what is written in the text. In addition, comparative analysis will also be used between one text and another. The results of this study are First, in the Islamic worldview the concept of corruption is closely related to metaphysical concepts such as the concept of God, Sharia God's rules, sin, the afterlife, reckoning hisab, retribution; while still affirming concepts in the worldly dimension such as the concept of the state, property, law and justice. Second, these concepts should be included in anti-corruption Dan Nepotisme Perspektif Hadits-Teguh Luhuringbudi PascasarjanaKORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS-Teguh Luhuringbudi PAscasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, 2007.What Does Contemporary Science Say aboutCristopher M BarnesJosephBarnes, Cristopher M., dan Lieutenant Colonel Joseph, What Does Contemporary Science Say aboutL WongB Dan KlenierWong, L., dan Klenier, B. 1994. Nepotism International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 3, No. 34 Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic MarketsDari KorupsiDan KolusiNepotismeUndang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. 53 Patrick Andreoli-Versbach dan Fens-Uwe Franck, "Econometric Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,"Journal of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2 July 2015 463-492 [464].Rohi BaalbakiBaalbaki, Rohi. al-Mawrฤซd, Cetakan Ketujuh Beirut Dar al-'Ilm li al-Malฤyฤซn, 1995. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi dan lamban dalam pengentasannya. Praktik korupsi merajalela, begitu pun dengan nepotisme, yaitu praktik memberikan akses dan fasilitas istimewa kepada keluarga, teman, dan perseorangan. Pembahasan mengenai nepotisme masih jarang. Penelitian baru berkembang setelah tahun 2010, di mana ada beberapa penelitian yang menunjukkan dampak nepotisme pada performa perusahaan keluarga dan korporasi. Hasil dari riset-riset tersebut menunjukkan bahwa nepotisme menghasilkan keputusan yang tidak berimbang, perlakukan tidak adil dan merusak kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa nepotisme menyebabkan kehilangan motivasi, kepercayaan diri, keterasingan, menyingkirkan karyawan yang memiliki keterampilan yang tinggi, danmembatasi persaingan dan inovasi. Konsekuensi dari dampak nepotisme di atas melemahkan fondasi organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pada pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Nepotisme menyebabkan banyak dampak pada kinerja organisasi, tetapi kurangnya minat di antara para peneliti di kajian ini bisa menyebabkan dampak yang lebih besar dari yang dibayangkan. Nepotisme membawa dampak yang buruk bagi perekonomian, penelitian yang sedang saya kerjakan mengisyaratkan bahwa kebanyakan orang di Indonesia memandang nepotisme sebagai sesuatu hal yang lumrah. Nepotisme di Indonesia Korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan pribadi. Sedangkan nepotisme memiliki cakupan yang lebih luas, yakni penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan golongan tertentu dan biasanya di motivasi oleh keserakahan pribadi. Di Indonesia, istilah nepotisme mulai populer pada 1990an. Aktivis mahasiswa, yang menuntut Soeharto untuk mengakhiri kekuasaannya, memakai istilah โ€œKorupsi, Kolusi dan Nepotisme KKNโ€. Praktik mengistimewakan orang tertentu, yang didasarkan pada preferensi pribadi, ikatan darah dan hubungan kekeluargaan masih kental hingga kini. Ada beberapa partai politik yang dibentuk berdasarkan pada ikatan kekeluargaan seperti misalnya Partai Demokrat dan Partai Berkarya. Praktik nepotisme juga berlangsung di pemerintahan lokal. Seperti misalnya di Banten dan Sulawesi Selatan. Para pemimpin daerah di sana menjalankan kekuasaannya dengan mengistimewakan keluarga dekatnya dalam pemerintahan. Ketika pemimpin daerah dengan keluarga dan handai tolan di administrasi sudah tidak lagi berkuasa, pengaruh dan warisan politik mereka akan tetap kuat. Ini menunjukkan bahwa praktik nepotisme ada di setiap level pemerintahan di Indonesia. Persepsi individu terhadap nepotisme Saya tertarik mencari tahu bagaimana orang Indonesia sendiri memaknai nepotisme. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya melakukan survei pada 237 responden antara Mei hingga Juni 2018. Saya juga mewawancarai 10 orang untuk mendapatkan pandangan yang jauh lebih dalam pada Juli dan Agustus 2018. Sekitar 90% dari responden saya adalah mahasiswa yang sedang duduk di bangku kuliah. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hampir semua responden setuju korupsi adalah tindakan yang buruk. Mereka juga mengurutkan korupsi termasuk suap, penggelapan uang, penyalahgunaan kewenangan dan pencucian uang sebagai tindakan yang paling buruk di antara praktik lain seperti dinasti politik, kolusi, politik kroni dan nepotisme. Sekitar 73% dari responden beranggapan bahwa tindakan elite penguasa yang memberikan jabatan dan kesempatan pada keluarganya sendiri adalah tindakan yang salah. Namun, responden juga menilai nepotisme sebagai tindakan yang paling sedikit memberi dampak buruk dibanding dengan tindakan yang lain. Respon Respon Hasil wawancara dengan 10 responden menunjukkan tujuh dari mereka mereka menganggap bahwa nepotisme adalah yang yang lumrah. Mereka beralasan bahwa sudah kodratnya manusia akan memilih keluarga, teman, atau orang terdekatnya, karena faktor lebih kenal mereka secara personal. Selain itu, mereka juga tidak perlu khawatir suatu saat anggota keluarga akan mengkhianati mereka. Responden juga beranggapan bahwa sudah menjadi tugas mereka untuk memastikan bahwa keluarga mereka mendapatkan pekerjaan yang stabil dengan gaji yang layak. Meskipun orang tersebut tidak memiliki keterampilan yang cukup akan tetapi mereka percaya bisa membimbing mereka. Sementara itu, hanya tiga responden tidak setuju dengan nepotisme. Mereka menganggap bahwa nepotisme menutup peluang untuk berkompetisi secara adil. Mereka juga yakin bahwa nepotisme membuat ikhtiar belajar dan berusaha menjadi percuma, karena pada akhirnya itu tidak menjadi faktor penentu. Nepotism itu tindakan yang alami Praktik nepotisme tidak hanya dapat ditemukan di kantor dan pemerintahan, tetapi juga pada binatang yang memiliki sifat sosial seperti tawon, lebah, semut, rayap dan monyet. Ilmuwan Neo-Darwinian sepakat bahwa nepotisme mempengaruhi perilaku binatang sosial secara nyata. Contohnya dapat ditemukan pada ratu lebah yang memilih lebah pekerja yang bisa tinggal di dalam istananya berdasarkan pada kecenderungan pilihan jenis gen sang ratu lebah. Sementara untuk manusia, nepotisme beroperasi di hampir semua lapisan sosial. Nepotisme mempengaruhi bagaimana seseorang menentukan kelas-kelas sosial ekonomi berdasarkan pada preferensi warna kulit, tampang dan penampilan. Praktik nepotisme biasanya dimulai sangat awal ketika orang tua membeda-bedakan anaknya berdasarkan pada siapa yang orang tua paling suka. Perilaku ini kemudian secara tidak sadar masuk ke alam bawah sadar anak, sehingga membentuk perilaku mereka di masa depan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Georgetown Universityโ€™s McDonough School of Business dan lembaga riset Penn Schoen Berland menunjukkan bahwa terdapat perilaku pengistimewaan tidak wajar di perkantoran di AS. Mereka mewawancarai 303 pejabat senior dan menemukan fakta bahwa 84% mengakui praktik nepotisme berlangsung di organisasi mereka. Hal yang sama juga terjadi di birokrasi pemerintahan ketika banyak orang yang dipilih berdasarkan pada penilaian subjektif pribadi ketimbang pada kualitas dan kualifikasi dengan anggapan sepanjang orang yang terpilih cukup memenuhi kualifikasi maka praktik nepotisme sah-sah saja dilakukan. Pembenaran tindakan nepotisme semacam ini dapat mempengaruhi bagaimana suatu negara memaknai praktik tersebut. Di negara-negara berkembang seperti Ghana, nepotisme dianggap sebagai bagian dari sifat alamiah manusia. Sedangkan di negara maju seperti di Italia, nepotisme baru muncul ketika mereka sudah dewasa. Biasanya ditemui ketika tahun ajaran baru penerimaan mahasiswa. Mahasiswa yang keluarganya memiliki relasi politik akan mudah dibimbing oleh profesor terkenal. Tentu tidak ada cara yang mudah untuk mengakhiri praktik korupsi di Indonesia karena sudah hadir hampir setiap lini masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perlu tahu dampak dari perilaku nepotisme. Pada saat yang sama, pemerintah juga sebaiknya membuat peraturan yang dapat mencegah praktik nepotisme berlangsung di birokrasi pemerintahan Home Opini Sabtu, 27 Mei 2023 - 1120 WIBloading... Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Foto/SINDOnews A A A Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas PadjadjaranMASYARAKAT termasuk para ahli hukum pidana juga praktisi penegak hukum telah mengabaikan dua jenis perbuatan, Kolusi dan Nepotisme dalam penanganan perkara Korupsi. Sedangkan Kolusi dan Nepotisme telah ditetapkan sebagai tindak pidana di dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN. Bahkan sejatinya di dalam Desain Besar grand design pencegahan dan pemberantasan Korupsi memasuki era Reformasi hukum tahun 1998, UU KKN adalah merupakan โ€œUmbrella-Actโ€ dari seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara termasuk peraturan kode etik dan disiplin aparatur penyelenggaraan negara khususnya di kepolisian, kejaksaan, dan di jajaran Mahkamah Agung. Dua dari ketiga jenis tindak pidana tersebut, Kolusi dan Nepotisme tidak pernah diimplementasikan terhadap perkara korupsi terutama di kalangan penyelenggara negara seperti perbuatan secara melawan hukum dalam proses lelang/tender barang dan jasa pemerintah Kementerian/Lembaga. Sedangkan diketahui bukan rahasia umum bahwa dalam proses tender selalu terkait hubungan anak, saudara, atau kawan pejabat Kementerian/Lembaga sebagai โ€œperantaraโ€ yang berhubungan dengan kontraktor dan kontraktor dan pejabat tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap penyelenggaraan lelang barang dan atau jasa tidak ada keterlibatan sanak saudara pejabat pengguna anggaran PA atau kawan-kawannya misalnya kasus korupsi pengadaan proyek BTS Kemenkominfo dimana keluarga Menkominfo terlibat; kasus suap di MA; kasus korupsi eks Gubernur Papua Lukas Enembe, dan masih banyak lagi. Tindak pidana kolusi dan nepotisme ancaman pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar tidak berbeda jauh dengan ancaman tindak pidana tipikor. Kewajiban melaporkan harta kekayaan setiap penyelenggaa negara sebelum, selama, dan setelah diangkat sebagai PNS/ASN atau pejabat struktural memudahkan aparatur penegak hukum untuk mengetahui secara pasti ada tidaknya penyimpangan harta kekayaan penyelenggara negara dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengusut dan menelusri, jika ada kelebihan harta kekayaan yang dimiliki penyelenggara negara tersebut. Yang penting dalam mencegah KKN di kalangan penyelenggara negara adalah bahwa setiap penyelenggara negara tidak berhak memiliki harta kekayaan yang ia peroleh di luar penghasilanya yang sah atau diperoleh secara melanggar hukum. Di dalam penelusuran harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan, aparatur penegak hukum wajib meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010. Jika terbukti ditemukan aliran dana yang berasal dari tindak pidana maka penyidikan masuk ke ranah UU Anti TPPU di mana peranan sentral berada pada PPATK di bawah koordinasi penyidik. Dalam konteks penelusuran dan pembuktian tindak pencucian uang dapat dilakukan dua cara yaitu melalui prosedur penuntutan pidana dengan metoda pembalikan beban pembuktian reversal of burden of proof yang akan diakhiri dengan perampasan aset criminal based forfeiture. Cara kedua melalui perampasan aset asal kejahatan dengan perampasan melalui gugatan keperdataan civil based forfeiture. Kejaksaan mengajukan tuntutan perdata ke pengadilan negeri dan majelis hakim meminta terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya adalah berasal dari penghasilan yang sah. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan maka majelis hakim memerintahkan jaksa untuk merampas harta kekayaannya. Prosedur perampasan aset dengan kedua cara tersebut telah diatur lebih rinci dan spesifik di dalam UU Perampasan Aset Tindak Pidana UU PA yang telah diajukan pemerintah kepada DPR RI. Pencegahan dan pemberantasan KKN dengan UU PA akan lebih efisien dan efektif karena perampasan aset tindak pidana berada atau terletak di hilir pemberantasan korupsi yaitu yang dijadikan target hanya aliran dana yang berasal dari KKN apa pun bentuknya termasuk suap, gratifikasi, dan kerugian negara yang timbul dari KKN. opini kkn pemberantasan korupsi Baca Berita Terkait Lainnya Berita Terkini More 17 menit yang lalu 26 menit yang lalu 46 menit yang lalu 47 menit yang lalu 53 menit yang lalu 1 jam yang lalu Oleh Mochtar NaimDari mana harus dimulai? Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang sosiolog yang menekuni masalah-masalah patologi sosial, jawabnya sama seperti yang diberikan oleh dokter dalam menghadapi dan derivatifnyaโ€”kolusi, nepotisme, despotismeโ€”adalah penyakit masyarakat. Oleh karena itu harus dimulai dengan melakukan diagnosis, yaitu mencari penyebab dari penyakit itu. Jika penyebabnya sudah ditemukan, penyebabnya itulah yang diangkatkan melalui terapi-terapi penyembuhan dan dengan resep obat-obat yang dapatkah korupsi sebagai penyakit masyarakat itu diangkat? Jawabnya, sama seperti dokter menjawab pertanyaan pasiennya Insya Allah, dapat! Kecuali kalau penyakitnya sudah lajat, sudah sangat payah, memang tidak bisa disembuhkan lagi. Yang ditunggu adalah kematian. Bukankah kematian masyarakat akibat korupsi sudah kita temukan di mana-mana dalam lembaran sejarah? Kuburannya pun bertebaran di penyakit masyarakat bernama โ€korupsiโ€ itu telah ada sejak manusia ada. Secara potensial inheren ada pada tiap manusia. Namun, manusia itu disebut manusia karena dia berusaha melawan dan memerangi sifat-sifat buruk sayyiah, jelek lawwamah, dan kesetanan syaithaniyyah-nya dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. Itu sebabnya, dalam Islam, keimanan dan ketakwaan harus senantiasa diperbarui dan diperkuat. Perjalanan hidup seseorang tak pernah berupa garis lurus yang terus menanjak atau terus menurun, tetapi keduanya. Itu sebabnya kenapa ada orang yang pada mulanya baik, lurus, jujur, tidak korupsi, tetapi akhirnya jelek dan menjadi koruptor besar. Begitu juga itu, dari segi pendekatan psiko- teologis dan dari tinjauan mikrokosmis ini, penyembuhan penyakit korupsi dan antek-anteknyaโ€”betapapun luas dan meruyaknyaโ€”harus dimulai dari bersifat kejiwaan yang dimulai dari diri, bagaimanapun, harus dilakukan karena yang sakit itu sesungguhnya adalah jiwa. Penyakit jiwa terapinya terutama agama. Tak ada terapi kejiwaan yang lebih ampuh dan lebih menyentuh kecuali pendekatan kejiwaan bernuansa keagamaan. Dalam psiko-terapi yang bernuansa keagamaan, manusia yang telah terputus talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali sehingga dia merasakan ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia, yaitu Sang dan multifasetBagaimanapun, manusia tidak sendiri hidup di dunia ini. Dia tak akan survive dan ada kalau tak ada manusia lain bersamanya. Di tengah-tengah masyarakat inilah dia hidup. Korupsi itu ada dan baru ada ketika dia hidup bersama dimensi bersifat makrokosmis yang berorientasi kemasyarakatan ini, maka korupsi yang tadinya bersifat individual sekarang juga bersifat sosial, bahkan kultural. Sekarang kaitannya tak hanya pada diri orang per orang, juga pada sistem yang berlaku dan corak kebudayaan yang dianut. Ini yang membedakan ada masyarakat yang bisa mengendalikan laju fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme itu, dan ada yang terbawa hanyut korupsi ini pada analisis pertama bisa dibagi dua menurut corak sistem, lembaga, dan budaya yang berlaku. Pertama, bercorak demokratis, egaliter, dan menempatkan hukum berdiri di atas penguasa. Kedua, bercorak feodalistis, hierarkis, dan menempatkan penguasa berdiri di atas hukum. Secara hipotetis dikatakan yang pertama laju korupsinya rendah dan terkendali, yang kedua laju korupsinya tinggi dan tak historis-empirik dan aktual dari negara-negara yang melaksanakan corak pertama ada di mana-mana. Begitu pun contoh corak kedua. Negara-negara terbelakang dan dunia ketiga yang sedang bergulat menyelesaikan dirinya dan yang telah melewati puncak perkembangan dan kemajuannya relatif akut korupsi, kolusi dan nepotismenya. Sementara negara-negara maju yang demokratis, terbuka, dan menempatkan hukum di atas semua orang dan semua kepentingan umumnya KKN- nyaโ€”kalau adaโ€”terkendali dan rata-rata di bawah ambang ke pangkal kaji dapatkah semua ini dihapus? Kalau dapat, dari mana harus dimulai? Tentu saja dapat kalau memang kita mau menghapusnya! Semua itu lalu harus dimulai dengan azam yang kuat, dengan tekad dan iktikad yang bulat dan menyatakan perang sampai ke akar- akarnya. Niat dan azam yang kuat ini tentu harus dibarengi perbuatan nyata yang konkret dan terprogram. Pendekatannya pun harus bersifat multifaset, multilevel, dan terpadu secara ada empat pendekatan multilevel yang secara serempak dan terpadu harus dilakukan pendekatan struktural- sistemik, pendekatan kultural, pendekatan keagamaan, dan pendekatan suri teladan dari para pendekatan struktural-sistemik berarti semua perangkat hukum dan pelembagaan dalam rangka pemberantasan korupsi harus disiapkan. Undang-undang yang dikeluarkan harus bersanksi berat. Adapun yang dikejar dengan cara capital punishment ini pelajaran bagi khalayak ramai agar tidak mencoba-coba balik semua perangkat hukum ini tentu saja adalah perlakuan hukum yang sama dan tidak memihak. Hukum harus ditempatkan di atas semua orang, golongan, dan kepentingan tanpa pilih kasih. Jika ini berjalan, korupsi dan tindak kejahatan lain apa pun akan juga akan berjalan secara efektif jika sistem kontrol yang bersifat timbal balik dihidupkan kembali. Prinsip trias politika adalah sebuah keniscayaan yang mau tak mau memang harus dihidupkan dan diberlakukan kembali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di samping setara juga harus bersifat saling mengontrol dan saling kultural Pendekatan kultural tak kalah penting dalam upaya menghapus korupsi secara tuntas dan total. Seperti dimaklumi, penyebab utama maraknya KKN di bumi Indonesiaโ€”terutama selama Orde Baru dan Lamaโ€”adalah karena kita kembali ke dunia lama kita yang sesungguhnya sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup sekarang. Penghalang utama adalah kultur bangsa kita sendiri yang selama berabad- abad hidup secara akrab dengan korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai perantara yang dimainkan oleh kelompok keturunan asing, khususnya China, dalam perdagangan untuk kepentingan keraton berlanjut sampai hari ini dalam jumlah dan skala yang makin besar. Kehidupan para priayi yang lebih memilih hidup senang tanpa berpayah-payah telah menyebabkan kolusi dan nepotisme menjadi bagian tak terpisahkan, bahkan telah membudaya dari kehidupan feodal di bumi pendekatan kultural, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang dijiwai oleh semangat feodalisme itu harus dikikis habis. Kita harus menyatakan perang terhadap feodalisme dan nepotisme itu sendiri. Dengan memberlakukan dan menggantikannya dengan sistem demokrasi, di mana rakyat yang berdaulatโ€”bukan raja atau presidenโ€”maka feodalisme dan nepotisme yang telah berurat berakar itu diharapkan akan hapus pada seperti telah disinggung di atas, pendekatan agama. Apa pun corak pendekatan yang dilakukanโ€”struktural-sistemik, hukum, kelembagaan dan kebudayaanโ€”jika tak dijiwai semangat keagamaan, orang hanya takut korupsi karena ada undang-undang, ada polisi, dan ada sanksi hukum yang sifatnya formal. Semua itu, seperti selama ini, bisa dibeli dan dikelabui. Adapun yang bisa menahan diri kita untuk tidak korupsi yang ternyata jauh lebih efektif justru adalah pertahanan yang ada dalam diri sendiri. Pertahanan itu namanya agama, walau yang keluar dalam bentuk norma, sikap, dan perilaku. Melalui ajaran-ajaran keagamaan ini, orang lalu tertahan untuk melakukan apa-apa yang tidak baik dan menyalahi hukum. Sanksi agama yang melekat dalam diri orang per orang bisa lebih ampuh dan lebih efektif daripada sanksi hukum mana pun. Praktik puasa hanyalah satu contoh betapa tanpa dilihat oleh siapa pun orang tak akan makan-minum yang membatalkan keempat, walau bukan yang terakhir, teladan yang baik dari para pemimpin. Adagium dalam Islam, โ€mulailah dari dirimu sendiriโ€, sangat tepat dan berlaku dalam contoh keteladanan ini. Apatah lagi dalam Islam tiap orang adalah pemimpin, dan pemimpin itu bertanggung jawab terhadap yang kombinasi dari semua ini secara terpadu, multilevel, dan multifaset tentu lebih menjamin terkikis habisnya praktik dan budaya korupsi di bumi Indonesia. Jika dikerjakan dengan sungguh- sungguh, seperti yang kita lihat dengan contoh teladan dari negeri-negeri jiran, dalam satu generasi yang sama sudah akan terlihat Naim Sosiolog Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

korupsi kolusi dan nepotisme disebut bahaya laten karena